View All KONSULTASI HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 18 Oktober 2017, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Konsultasi Hukum , Tindak Pidana Pembunuhan » Ngaku Kesurupan Waktu Membunuh, Apakah Tetap Dipidana?

Ngaku Kesurupan Waktu Membunuh, Apakah Tetap Dipidana?

Ngaku Kesurupan Waktu Membunuh: Apakah Tetap Dipidana?

1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci tentang Tindak Pidana Tersebut

Kasus orang yang mengaku kesurupan saat melakukan pembunuhan termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan, namun dengan kemungkinan adanya alasan penghapus pidana, khususnya karena alasan tidak mampu bertanggung jawab secara hukum saat perbuatan dilakukan. Dalam hukum pidana Indonesia, seseorang yang melakukan kejahatan namun tidak sadar atau tidak mampu mengendalikan kehendaknya, bisa dianggap tidak memiliki kemampuan bertanggung jawab.

Namun, klaim "kesurupan" bukanlah pembenaran otomatis. Diperlukan pembuktian ilmiah dan medis bahwa pelaku dalam kondisi gangguan jiwa atau tidak sadar secara hukum. Bila terbukti hanya pura-pura, maka pelaku tetap dipidana secara penuh.

Jadi, tindak pidananya tetap masuk kategori pembunuhan, namun status pertanggungjawaban hukumnya bisa bergeser tergantung hasil pemeriksaan medis, kejiwaan, dan keyakinan hakim atas bukti yang diajukan.

2. Dasar Hukum atau Isi Pasal yang Mengatur

KUHP Lama (WvS):

  • Pasal 44 KUHP
    Ayat (1): Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena penyakit jiwa atau terganggu akalnya, tidak dipidana.
    Ayat (2): Jika nyata bahwa orang tersebut membahayakan, maka bisa diperintahkan untuk dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

  • Pasal 338 KUHP:
    Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

KUHP Baru (UU Nomor 1 Tahun 2023):

  • Pasal 47 KUHP Baru
    Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana karena gangguan jiwa atau perkembangan jiwa tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, tidak dipidana.
    Tindak lanjutnya dapat berupa perawatan di rumah sakit jiwa.

  • Pasal 463 KUHP Baru:
    Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dipidana paling lama 15 tahun.

Jika perbuatan membunuh dikaitkan dengan pasal lain (misalnya kekerasan dalam rumah tangga), maka dapat dikenai juga pasal-pasal di luar KUHP, seperti:

  • Pasal dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT

  • UU Perlindungan Anak bila korbannya anak

  • UU Terorisme jika pembunuhan terkait motif ideologis

Namun, tetap harus dibuktikan apakah pelaku dalam kondisi sadar hukum saat kejadian.

3. Contoh Kasus dan Penjelasan Lengkap

Kasus: Pembunuhan karena Kesurupan di Malang (2014)

Seorang pria membunuh tetangganya dengan parang dan mengaku tidak sadar karena sedang kesurupan. Ia mengaku merasa tubuhnya dikendalikan oleh sosok gaib dan tidak mampu mengendalikan perbuatannya.

Langkah hukum yang diambil:

  • Polisi menahan pelaku dan melakukan tes kejiwaan di RS Jiwa Lawang.

  • Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa pelaku mengalami gangguan psikotik sementara saat kejadian, tetapi saat pemeriksaan, kesadarannya sudah pulih.

  • Jaksa menuntut pidana ringan karena pelaku terbukti tidak sadar hukum saat melakukan perbuatan.

  • Hakim memutuskan pelaku tidak bersalah secara hukum namun memerintahkan pelaku untuk dirawat wajib di rumah sakit jiwa selama 3 tahun karena dianggap membahayakan lingkungan.

Catatan penting dari kasus ini: Pembelaan kesurupan bisa diterima hanya jika dibuktikan oleh ahli kejiwaan, dan bukan sekadar pengakuan pribadi.

4. Proses Peradilan Terkait Tindak Pidana Ini

Penyelidikan:

  • Setelah kejadian pembunuhan, aparat kepolisian akan mengamankan pelaku dan barang bukti.

  • Pelaku yang mengaku kesurupan tetap diperiksa awal sebagai tersangka.

Penyidikan:

  • Penyidik melakukan BAP, termasuk pengambilan keterangan saksi dan pelaku.

  • Dilakukan pemeriksaan kejiwaan di rumah sakit jiwa atau forensik oleh psikiater, untuk menilai apakah pelaku memiliki gangguan jiwa atau tidak saat kejadian.

Penetapan Tersangka:

  • Bila hasil awal medis menyatakan pelaku terganggu jiwanya saat kejadian, maka status hukumnya bisa menjadi tersangka tanpa tanggung jawab pidana.

  • Jika tidak ditemukan gangguan, maka proses hukum berlanjut normal.

Penuntutan:

  • Jaksa menilai kelengkapan berkas dan bukti.

  • Bila pelaku memang mengalami gangguan, jaksa dapat mengajukan permintaan kepada hakim untuk dirawat, bukan dipenjara.

  • Bisa juga tetap menuntut dengan pidana ringan jika gangguan tidak menyeluruh.

Persidangan:

  • Hakim mempertimbangkan hasil forensik, rekam jejak kesehatan mental, dan kronologi kejadian.

  • Bila terbukti pelaku benar-benar dalam kondisi tidak mampu bertanggung jawab, maka hakim bisa memutus bebas dari pidana namun wajib dirawat.

Upaya Hukum (PK, Banding, Kasasi):

  • Jaksa atau keluarga korban dapat melakukan banding jika tidak puas dengan vonis bebas.

  • Namun tetap harus disertai bukti baru atau kesalahan dalam pertimbangan hukum.

5. Kesimpulan dan Permasalahan dalam Proses Peradilan

Kesimpulan: Pelaku pembunuhan yang mengaku kesurupan tidak otomatis bebas dari hukuman. Dalam hukum pidana Indonesia, pertanggungjawaban pidana ditentukan oleh kesadaran dan kemampuan mengendalikan diri saat kejadian. Bila terbukti mengalami gangguan jiwa berat atau tidak sadar saat kejadian, pelaku bisa dibebaskan dari hukuman pidana, namun tetap dapat diperintahkan untuk dirawat di institusi kejiwaan.

Sebaliknya, bila "kesurupan" tidak terbukti secara medis, maka pelaku tetap akan dikenai pidana sesuai pasal pembunuhan.

Permasalahan dalam proses peradilan:

  • Sulit membuktikan kesurupan secara hukum, karena kesurupan merupakan istilah mistik dan tidak dikenal dalam sistem hukum positif.

  • Perlu keahlian psikiater forensik, yang terbatas jumlahnya di daerah.

  • Ada potensi manipulasi oleh pelaku, berpura-pura mengalami gangguan demi menghindari hukuman.

  • Perbedaan tafsir antar ahli, bisa membuat hakim ragu dan mempertimbangkan faktor lain.

Kesimpulannya, kesurupan tidak menjadi alasan penghapus pidana secara otomatis. Namun bisa menjadi alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan jika terbukti secara medis sebagai gangguan jiwa yang nyata dan signifikan. Proses pembuktiannya sangat ketat dan menjadi kewenangan penuh hakim dalam menilai.

Pertanyaan Terkait :

Konsultasi Hukum :
Advokat & Konsultan Hukum 

Andi Akbar Muzfa, SH & Partners

KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+

Related Posts :

TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Kami hanyalah sekumpulan kecil dari kalangan akademisi yang senang berbagi pengetahuan melalui Blogging... Save Link - Andi AM