Locus delicti diatur dalam pasal 2 s/d 9 KUHP, penting dipelajari karena berhubungan dengan hal-hal:
- Apakah perundang-undangan kita berlaku untuk warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri,
- Kejaksaan Negeri mana dan Pengadilan Negeri mana yang berhak menuntut dan mengadili seseorang.
1. Asas territorial
Artinya KUHP berlaku untuk setiap orang baik ia WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah teritorial RI. Pasal 2 KUHP : Untuk terjadinya tindak pidana di wilayah RI tidak perlu selalu pelaku ada di wilayah RI, bisa juga di wilayah asing tapi korban ada di wilayah RI, maka ia dinyatakan bersalah melakukan kejahatan di wilayah teritorial RI. Kemudian pasal 2 KUHP ini diperluas dengan adanya pasal 3 KUHP : Ini berlaku untuk WNA melakukan kejahatan di atas kapal RI (dulu kapal itu hanya di air sedangkan sekarang termasuk di udara).
2. Asas personal/ asas nasional aktif
Pasal 5 KUHP: KUHP Indonesia berlaku untuk warga negara yang melakukan kejahatan di luar negeri.
Pasal 5 ini dibatasi oleh pasal 6 yang menyatakan perbuatan yang dilakukan menurut hukum Indonesia dinyatakan sebagai kejahatan sedangkan di luar negeri tempat perbuatan itu dilakukan dinyatakan sebagai dapat dipidana.
3. Asas nasional pasif
Asas ini disebut juga dengan asas perlindungan karena bukan saja melindungi kepentingan nasional RI tapi juga kepentingan negera asing.
4. Asas universal
Dalam asas universal ini terkandung pengertian menyelenggarakan tertib dunia.
Locus delicti menganut pula beberapa teori, antara lain :
- Teori perbuatan; dilakukannya aktivitas perbuatan,
- Teori perbuatan diluaskan dengan alat; di sini dilihat tempat alat bekerja,
- Teori akibat; tempat akibat itu terjadi.
UPDATE 2026
Waktu Terjadinya Tindak Pidana (Lex Tempus Delicti)
Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR Law Office)
1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci
Waktu terjadinya tindak pidana (lex tempus delicti) adalah asas hukum yang menentukan bahwa suatu perbuatan pidana dinilai dan diadili berdasarkan hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan, bukan hukum yang berlaku setelahnya atau sebelum perbuatan terjadi.
Prinsip ini sangat penting dalam hukum pidana karena:
-
Menjamin kepastian hukum.
-
Melindungi seseorang dari penerapan hukum secara retroaktif (surut), yang dapat merugikan tersangka.
-
Memberikan keadilan dalam penerapan sanksi pidana, karena seseorang hanya dapat dihukum jika pada saat perbuatan itu dilakukan, perbuatan tersebut sudah diatur dan diancam dengan pidana dalam undang-undang.
Lex tempus delicti juga berkaitan erat dengan asas legalitas (nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali), yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu.
Dalam praktiknya, asas ini sering menjadi perdebatan ketika terjadi perubahan peraturan pidana di tengah proses penyidikan atau persidangan. Maka, penting untuk mengetahui kapan tepatnya tindak pidana dilakukan, karena hal itu akan menentukan hukum mana yang berlaku (apakah KUHP lama atau KUHP baru, misalnya).
2. Dasar Hukum dan Penjelasan Pasal Terkait dalam KUHP Baru
Dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), pengaturan mengenai asas lex tempus delicti dapat ditemukan secara tersirat dalam:
Pasal 2 KUHP Baru
"Peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku adalah yang diundangkan sebelum terjadinya Tindak Pidana, kecuali peraturan perundang-undangan yang baru menguntungkan bagi pelaku."
Pasal ini menegaskan bahwa:
-
Perbuatan hanya dapat dikenai pidana jika sudah diatur dalam hukum pada saat perbuatan dilakukan.
-
Namun, jika terjadi perubahan undang-undang setelah perbuatan dilakukan, maka pelaku berhak mendapatkan penerapan hukum yang lebih menguntungkan baginya.
Dengan kata lain, lex tempus delicti tetap berlaku, namun dalam semangat perlindungan HAM dan asas keadilan, KUHP Baru memperkenankan penerapan asas retroaktif terbatas, yaitu apabila peraturan baru lebih ringan atau lebih menguntungkan.
Asas ini juga terkait dengan asas non-retroaktif, yang dilarang dalam hukum pidana modern, kecuali dalam hal lex mitior (hukum yang lebih ringan berlaku surut).
3. Contoh Kasus dan Penjelasan
Kasus: Perubahan Sanksi Pidana dalam KUHP Baru
Seorang pelaku pencurian melakukan aksinya pada 5 Desember 2022, ketika KUHP lama masih berlaku. Namun, proses penyidikan dan persidangan baru dilakukan setelah KUHP Baru diundangkan pada Januari 2023 dan berlaku penuh pada 1 Januari 2026.
Dalam KUHP lama, sanksi pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) bisa sampai 7 tahun. Dalam KUHP Baru, pengaturannya ada dalam Pasal 471, dengan pengurangan atau pengaturan ulang ancaman pidananya, yang bisa jadi lebih ringan, tergantung kondisi pemberat.
Jika dalam proses peradilan terbukti bahwa sanksi dalam KUHP Baru lebih menguntungkan bagi pelaku, maka hakim wajib menerapkan ketentuan yang lebih ringan, walaupun perbuatan dilakukan saat KUHP lama masih berlaku.
Prinsip yang digunakan: Lex tempus delicti berlaku, kecuali lex mitior.
4. Proses Peradilan Terkait Tindak Pidana
a. Penyelidikan dan Penyidikan Pihak kepolisian melakukan penyelidikan berdasarkan laporan, lalu meningkat ke penyidikan. Di sinilah ditentukan waktu kejadian secara spesifik agar bisa dipastikan hukum mana yang berlaku (KUHP lama atau baru).
b. Penuntutan Jaksa menyiapkan surat dakwaan. Bila ada perbedaan sanksi antara KUHP lama dan baru, maka jaksa wajib mempertimbangkan mana yang paling menguntungkan pelaku.
c. Persidangan Hakim memeriksa kapan peristiwa pidana terjadi, dan membandingkan dua sistem hukum jika perlu. Hakim dapat menyatakan bahwa ketentuan yang berlaku saat perbuatan dilakukan tidak lebih ringan dibanding ketentuan yang sekarang, atau sebaliknya.
d. Putusan Putusan menjelaskan dasar hukum mana yang diterapkan, berdasarkan waktu kejadian dan mana yang lebih menguntungkan pelaku (lex mitior). Bila KUHP baru lebih ringan, maka diterapkanlah ketentuan itu, meskipun kejadian sebelum KUHP baru berlaku.
5. Perlindungan Hukum dari Pengacara atau Advokat
Advokat memegang peran penting dalam memastikan bahwa:
-
Kliennya tidak dikenai hukum secara retroaktif, jika hukum baru lebih berat.
-
Hak terdakwa untuk mendapatkan perlakuan berdasarkan hukum yang lebih menguntungkan dijaga.
-
Jika jaksa atau hakim masih menggunakan hukum yang lebih berat, advokat dapat mengajukan keberatan atau eksepsi.
Advokat juga dapat menyusun pembelaan berbasis yurisprudensi dan prinsip-prinsip HAM, agar terdakwa memperoleh keadilan substansial dalam proses hukum.
6. Kesimpulan
Waktu terjadinya tindak pidana atau lex tempus delicti menjadi acuan utama untuk menentukan hukum pidana mana yang digunakan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hukum yang berlaku saat tindak pidana terjadi adalah yang digunakan, kecuali hukum yang baru lebih ringan atau lebih menguntungkan pelaku (asas lex mitior).
Prinsip ini memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan hak bagi terdakwa. Namun, dalam praktik, sering terjadi hambatan seperti:
-
Penafsiran berbeda di antara penyidik, jaksa, dan hakim terkait "lebih menguntungkan".
-
Ketidaksiapan aparat dalam memahami KUHP baru.
-
Kurangnya sosialisasi perubahan hukum kepada praktisi dan masyarakat.
Oleh karena itu, pemahaman yang baik atas asas lex tempus delicti penting untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirasakan oleh para pencari keadilan.
Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Rekan)
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|