Tempus delicti penting dipelajari karena berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan :
- Apakah saat perbuatan dilakukan, UU-nya sudah ada apa belum?
- Apakah saat perbuatan dilakukan orang yang melakukan sudah dewasa atau masih di bawah umur? Ini penting karena berkaitan dengan badan peradilan mana yang berhak mengadili.
- Pada saat perbuatan dilakukan pelakunya dalam keadaan tertangkap tangan/ tertangkap basah. Ini penting dalam hal menentukan penahanan sementara bagi orang tersebut.
1. Tindak pidana harus dirumuskan dan diatur dalam UU, Konsekuensinya suatu perbuatan yang belum diatur dalam UU berarti bukan tindak pidana. Pengecualian terhadap konsekuensi ini mengenai Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis yang berlaku hanya bagi daerah tertentu seperti: Bali, Makasar. NTB, berdasarkan UU No. 1 Drt/1951 pasal 5 ayat 3 (b), bisa diadili di Pengadilan Negeri sebagai pengganti dari Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat.
Terhadap pokok yang pertama Utrecht memberikan catatan :
- Asas legalitas lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan individu dan menelantarkan kepentingan kolektif.
- Bagi mereka yang mempunyai pandangan individualistis terhadap Hukum Pidana maka asas legalitas inilah menjadi jaminannya.
- Adanya asas legalitas tidak memberi keleluasaan bagi Hakim pidana untuk mengadili perkara yang sifatnya patut dipidana (bukan dapat dipidana).
Dengan rasio/dasar pemikiran dari pembentuk Undang-undang;
- Untuk kepastian hukum dan mengantisipasi perbuatan sewenang-wenang dari penguasa,
- Adanya UU yang mencantumkan sanksi pidana dimaksudkan pula untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Apabila terjadi perubahan perundang-undangan setelah terjadi perbuatan dilakukan maka terhadap terdakwa haruslah dikenakan ketentuan yang paling menguntungkan.
Walaupun pasal 1 ayat 2 KUHP memunculkan banyak teori namun yang dipakai dalam prakteknya adalah teori yang lebih menguntungkan terdakwa, kecuali yaitu apabila suatu peraturan yang dibuat oleh pembentuk UU hanya berlaku untuk masa temporer saja maka di sini bukanlah perubahan perundang-undangan (perubahan UU yang bersifat temporer bukan termasuk pengertian perubahan dalam pasal 1 ayat 2 KUHP).
UPDATAE 2026
Tempat Terjadinya Tindak Pidana (lex locus delicti)
Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR Law Office)
Berikut adalah pembahasan lengkap mengenai Tempat Terjadinya Tindak Pidana (Lex Locus Delicti) yang disusun untuk mendukung pertimbangan hukum dalam menangani perkara, dengan mengacu pada KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) dan sistem hukum pidana Indonesia secara menyeluruh.
1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci
Lex Locus Delicti adalah asas hukum pidana yang menjelaskan di mana atau dalam wilayah hukum mana suatu tindak pidana dianggap terjadi dan dapat dituntut secara sah oleh aparat penegak hukum. Ini sangat penting karena berkaitan langsung dengan:
-
Kewenangan yurisdiksi wilayah, yaitu apakah suatu pengadilan atau aparat penegak hukum memiliki kewenangan untuk memproses suatu perkara.
-
Penentuan locus (tempat kejadian perkara / TKP) yang memengaruhi arah penyelidikan dan strategi hukum.
-
Tindak pidana lintas wilayah, seperti kejahatan siber, korupsi, perdagangan manusia, atau terorisme, yang bisa terjadi secara terpecah-pecah antara satu lokasi fisik dengan lokasi lain (baik di dalam negeri maupun lintas negara).
Asas ini menjadi kunci untuk memastikan penanganan hukum dilakukan di tempat yang relevan secara hukum, praktis secara administratif, dan adil secara yuridis. Dalam hukum acara pidana, pemahaman tempat terjadinya tindak pidana juga menentukan pengadilan mana yang berwenang, serta polisi atau jaksa dari wilayah mana yang harus menangani perkara.
Secara umum, tempat terjadinya tindak pidana dapat ditentukan melalui beberapa pendekatan:
-
Tempat pelaku melakukan tindakan pidana (actus reus).
-
Tempat timbulnya akibat dari tindakan tersebut.
-
Tempat direncanakannya kejahatan (jika relevan).
-
Tempat yang dikuasai pelaku untuk menjalankan tindak pidana meskipun secara fisik pelaku berada di tempat lain (misal: lewat internet).
2. Dasar Hukum atau Isi Pasal yang Mengatur
Dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), konsep lex locus delicti terdapat secara implisit dan eksplisit pada beberapa ketentuan berikut:
Pasal 3 KUHP Baru:
“Hukum pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pasal ini menegaskan asas teritorialitas, yaitu hukum pidana Indonesia hanya berlaku untuk perbuatan yang dilakukan di dalam wilayah Indonesia. “Di wilayah” dalam hal ini meliputi:
-
Wilayah daratan, perairan, dan udara RI.
-
Kapal berbendera Indonesia yang berada di laut lepas.
-
Pesawat terbang Indonesia yang berada di luar negeri (selama dalam penerbangan internasional).
-
Bahkan dalam beberapa keadaan tertentu, dapat mencakup yurisdiksi tambahan seperti pada asas nasional aktif dan pasif, serta asas universalitas, sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal lanjutan KUHP Baru (Pasal 4 s.d. Pasal 7).
Selain itu, hukum acara pidana (KUHAP) juga mengatur secara tegas perihal yurisdiksi tempat sidang pengadilan:
Pasal 84 KUHAP:
“Pengadilan negeri yang berwenang mengadili suatu perkara adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Tindak Pidana dilakukan.”
Ketentuan ini memberi kejelasan bahwa penentuan lokasi sidang perkara pidana didasarkan pada tempat terjadinya perbuatan pidana, bukan tempat domisili pelaku atau korban (kecuali ada alasan khusus untuk pemindahan lokasi sidang).
3. Contoh Kasus dan Penjelasan
Contoh Kasus 1: Penipuan Online Antar Provinsi
Pelaku A berdomisili di Jakarta dan mengelola akun marketplace fiktif. Ia menawarkan produk elektronik kepada korban B yang berdomisili di Surabaya. Setelah korban mentransfer uang sebesar 10 juta rupiah, pelaku memblokir kontak dan tidak mengirim barang.
Pertanyaan hukum: Di mana lokasi tindak pidana dianggap terjadi?
Analisis hukum:
-
Pelaku melakukan perbuatan pidana (mengendalikan akun fiktif) dari Jakarta.
-
Korban mengalami akibat dan kerugian di Surabaya.
-
Maka, berdasarkan pendekatan lex locus delicti, Jakarta dan Surabaya sama-sama relevan sebagai tempat tindak pidana terjadi.
Implikasi hukum:
-
Polisi di Surabaya dapat menerima laporan dan berwenang menyidik.
-
Pengadilan Negeri Jakarta atau Surabaya dapat memproses kasus tersebut, tergantung lokasi penangkapan dan penyidikan.
Contoh Kasus 2: Korupsi Dana Proyek di Daerah
Pejabat X di Provinsi A mengatur pencairan dana fiktif dari APBD untuk proyek jalan yang sebenarnya tidak pernah dilaksanakan. Dana dikirim ke rekening perusahaan fiktif di Provinsi B.
Tempat tindak pidana terjadi:
-
Perencanaan dan pencairan dana di Provinsi A.
-
Penampungan dana dan pencucian uang di Provinsi B.
Dalam kasus ini, tindak pidana dapat dianggap terjadi di lebih dari satu wilayah hukum, sehingga lembaga penegak hukum (misalnya KPK) bisa menggunakan yurisdiksi lintas wilayah dan mengajukan perkara di pengadilan tipikor Jakarta atau daerah domisili pelaku utama.
4. Proses Peradilan Terkait Tindak Pidana dan Lokusnya
Penentuan tempat tindak pidana berpengaruh dalam semua tahapan sebagai berikut:
a. Penyelidikan
-
Polisi menentukan di mana perbuatan terjadi, agar penanganan dilakukan oleh aparat dari wilayah yang berwenang.
-
Jika tindak pidana terjadi di lebih dari satu wilayah, dapat dilakukan koordinasi antar polres/polda.
b. Penyidikan
-
Setelah menetapkan locus delicti, penyidik melanjutkan proses sesuai yurisdiksi.
-
Surat perintah penyidikan (Sprindik) mencantumkan lokasi kejadian, agar berkas sah secara prosedural.
c. Penuntutan
-
Jaksa menyusun surat dakwaan berdasarkan lokasi kejadian, karena pengadilan yang akan menyidangkan perkara harus sesuai dengan locus.
-
Jika terjadi lintas provinsi atau lintas negara, Jaksa Agung/Kejaksaan Agung dapat memutuskan lokasi sidang atas alasan efisiensi dan keamanan.
d. Persidangan
-
Hakim mengacu pada pasal 84 KUHAP untuk memeriksa apakah perkara diperiksa oleh pengadilan yang benar.
-
Jika lokasi pengadilan dinilai tidak tepat, bisa diajukan keberatan (eksepsi) oleh pengacara.
e. PK (Peninjauan Kembali)
-
PK tetap diajukan ke Mahkamah Agung, tidak bergantung pada tempat kejadian pidana.
5. Perlindungan Hukum atau Upaya Pengacara
Advokat memiliki sejumlah strategi yang bisa digunakan saat locus delicti menjadi isu penting, antara lain:
-
Menguji keabsahan yurisdiksi tempat penyidikan dan penuntutan. Jika aparat dari wilayah yang tidak berwenang melakukan penyidikan, maka bisa diajukan keberatan hukum.
-
Mengajukan eksepsi (nota keberatan) di awal sidang, apabila merasa bahwa pengadilan yang memeriksa tidak tepat berdasarkan lokasi kejadian.
-
Meminta pemindahan lokasi sidang ke daerah netral atau aman, bila terdapat intimidasi, konflik kepentingan lokal, atau alasan keamanan saksi/pelaku.
-
Dalam perkara pidana lintas wilayah, advokat juga bisa meminta pemisahan berkas untuk menghindari dakwaan kolektif yang bisa merugikan klien.
6. Kesimpulan dan Permasalahan
Kesimpulan:
-
Penentuan tempat terjadinya tindak pidana (lex locus delicti) sangat penting dalam menetapkan yurisdiksi yang sah, menentukan aparat yang berwenang, dan menjaga integritas proses peradilan.
-
KUHP Baru dan KUHAP memberi dasar hukum yang jelas mengenai asas teritorial dan lokasi pengadilan.
Permasalahan yang bisa muncul:
-
Ketidakjelasan locus karena tindak pidana dilakukan secara online atau melibatkan banyak wilayah.
-
Tumpang tindih kewenangan antar kepolisian daerah atau kejaksaan.
-
Perdebatan lokasi sidang yang dapat memperlambat proses peradilan.
-
Sengketa yurisdiksi internasional, dalam hal kejahatan lintas negara (misalnya kejahatan siber, perdagangan orang, dll.)..
Konsultasi Hukum :
Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Rekan)
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|