View All MAKALAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 18 Oktober 2017, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Artikel Update Terbaru , Hukum Pidana , Ilmu Hukum » Asas legalitas (legality) KUHP

Asas legalitas (legality) KUHP

Asas legalitas (legality)
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.

Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah ketentuan konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum masyarakat. Sebagai konsekuensi dari asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum (supremacy of law), maka aparat penegak hukum dilarang atau tidak dibenarkan:
  1. Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue process.
  2. Bertindak sewenang-wenang (abuse of law).
Setiap orang baik tersangka/terdakwa mempunyai kedudukan:
  1. Sama sederajat di hadapan hukum atau equality before the law.
  2. Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum atau equal protection the law.
  3. Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama dibawah hukum, equal justice under the law.
Sebagai pengecualian dari asas legalitas adalah asas “opportunitas” yang berarti meskipun seorang tersangka telah bersalah menurut pemeriksaan dan penyidikan dan kemungkinan dapat dijatuhkan hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum atau dengan kata lain bahwa jaksa penuntut umum dapat mendeponir suatu perkara atas dasar pertimbangan demi kepentingan umum.

Jika kita telusuri ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, ternyata asas “opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena sebagaimana yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan pasal 14 KUHAP, yang menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak mendeponir suatu perkara demi kepentingan umum.

Namun demikian, pasal 32 huruf (c) Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991 menentukan bahwa kejaksaan masih berwenang melakukan deponiringI dan hal sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.

Berdasarkan kenyataan ini, ada dualistis mengenai pelaksanaan asas “opportunitas” dalam KUHAP yaitu suatu sisi mengakui asas legalitas dan di sisi lain asas legalitas telah dikebiri oleh kenyataan dengan adanya pengakuan KUHAP terhadap eksistensi asas “opportunitas”. Keadaan ini akan membawa kesesatan dalam pelaksanaan KUHAP itu sendiri dan ada kemungkinan dalam praktek dengan alasan mempergunakan kepentingan umum sebagai kedok untuk mengenyampingkan suatu perkara. Terlebih lagi kepentingan umum sangat abstrak, kabur dan mengambang karena baik KUHAP maupun Undang-Undang Kejaksaan tidak ada merumuskannya secara tegas dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Akibatnya, dalam praktek penegakan hukum bisa terjadi nepotisme atau koncoisme dengan dalih demi kepentingan umum.

Catatan Kuliah : Andi AM

UPDATE ARTIKEL 2017
Asas Legalitas dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Oleh. Andi Akbar Muzfa SH

KUHP yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam arti memerhatikan keseimbangan dua kepentingan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Pandangan monodualistik inilah yang biasanya dikenal dengan istilah “daad-dader strafrecht” yaitu hukum pidana yang memerhatikan segi objektif dari “perbuatan” (daad) dan juga segi-segi subjektif dari orang/pembuat (Dader).

Bertolak dari prinsip keseimbangan monodualistik itulah, maka konsep tetap mempertahankan dua asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana, yaitu: asas legalitas dan asas kesalahan/culpabilitas. Kedua asas inilah masing-masing dapat disebut sebagai “asas kemasyarakatan” dan “asas kemanusiaan”. Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, yang hanya merumuskan asas legalitas, konsep 1993 merumuskan kedua asas itu secara eksplisit di dalam Pasal 1 (untuk asas legalitas) dan Pasal 35 (untuk asas culpabilitas).

Berbeda dengan perumusan asas legalitas di dalam KUHP yang sekarang berlaku, konsep (RUUKUHP) memperluas perumusannya dengan mengakui eksistensi berlakunya hukum yang hidup (hukum tidak tertulis/hukum adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam undang-undang.

Perluasan perumusan asas legalitas ini dalam RUU KUHP Tahun 2012 dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:
  1. Ketentuan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan.
  2. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Alur pemikiran yang demikian dilanjutkan oleh pembuat konsep (RUU KUHP) dengan menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hukum yang materiil. Konsep (RUU KUHP) berpendirian bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak dari tindak pidana. Artinya, walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum, namun suatu perbuatan yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam undang-undang harus selalu dianggap melawan hukum.

Jadi perumusan formal dalam undang-undang harus dilihat sebagai faktor atau ukuran objektif untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum. Ukuran formal atau objektif itupun masih harus diuji secara materiil, apakah ada alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu betul-betul bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat atau hukum yang hidup dalam masyarakat.

Perluasan perumusan asas legalitas dan sifat melawan hukum ini pun tidak dapat dilepaskan dari pokok pikiran asas keseimbangan (antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara kepastian hukum dengan keadilan, antara kriteria/ sumber hukum formal dan materil). Pemikiran dan perumusan demikian juga merupakan hal baru apabila dibandingkan dengan perumusan KUHP yang saat ini berlaku.

Sumber,.
Catatan kuliah Mahasiswa Hukum Universits Muslim Indonesia (Makassar)
Posted by. Piymen FH UMI 06

Update by. Andi Akbar Muzfa SH
KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Kami hanyalah sekumpulan kecil dari kalangan akademisi yang senang berbagi pengetahuan melalui Blogging... Save Link - Andi AM