View All KONSULTASI HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 30 April 2025, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan (UPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara serta Memperbaharui seluruh artikel lama dengan aturan Perundang-undangan terbaru.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Hukum Pidana , Ilmu Hukum » Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan Hukum Pidana
Tokoh penting dalam pembaharuan hukum Pidana, diantaranya adalah Sudarto, Barda Nawawi. Nama asli KUHP yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie/WvSNI. Kodifikasi tahun 1915, unifikasi tahun 1918, tahun 1946 dengan UU No 1 berubah menjadi KUHP. Hal-hal yang bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka dihapuskan, seperti ; perbudakan, pengemisan dan gelandangan, dan perang tanding.

Dengan UU No. 20 tahun 1946 pemerintah RI memasukan jenis pidana baru, yaitu pidana tutupan yang khusus ditetapkan bagi para politikus yang saat itu menentang pemerintahan dwi tunggal. Pidana ini hanya berlaku sampai tahun 1958 yaitu berdasarkan UU No. 73 tahun 1958 tentang unifikasi Hukum Pidana materiil oleh karena saat itu di Indonesia ada 2 KUHP yaitu : KUHP untuk RI dengan ibukota Yogyakarta dan KUHP Federal dengan ibukota Batavia. Dualisme ini berakhir tahun 1958 dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 73 Tahun 1958 tersebut.

Pada tahun 1960 muncul UU No. 1 Tahun 1960, 3 pasal kejahatan yaitu 359 dan 360 tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan, dan pasal 180; dari 1 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara, dari kurungan 9 bulan menjadi kurungan 1 tahun. Dengan Perpu No. 16 tahun 1960, pidana denda dilipatgandakan.

Ada 3 sasaran pembaharuan Hukum Pidana antara lain :
  • Hukum Pidana materiil (KUHP) belum tuntas karena belum memiliki apa yang disebut dengan hukum nasional.
  • Hukum Pidana formil (KUHAP) sudah tuntas dengan keluarnya UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
  • Hukum pelaksanaan pidana sudah tuntas dengan keluarnya UU No. 12 tahun 1995 tentang Lapas (Lembaga Pemasyarakatan).
Dari 3 sasaran tersebut menggambarkan bahwa pembaharuan tidak berjalan secara sistematis. Cara untuk melakukan pembaharuan biasanya dengan cara kriminalisasi yaitu menciptakan tindak pidana baru baik yang diselipkan dalam KUHP atau yang dibuat khusus dalam KUHP yang semula tidak ada dalam KUHP.

Prof. Muladi menyatakan bahwa kriminalisasi sebagai cara pembaharuan Hukum Pidana bisa dilaksanakan melalui pilihan legislatif berupa evolusi dan kompromis. Evolusi yaitu menyelipkan pasal-pasal baru di dalam KUHP, contoh : dalam KUHP pasal 33 A (grasi), pasal 142 A, pasal 156 A, pasal 303 Bis, sedangkan yang dibuat di luar KUHP dengan UU misalnya: UU Korupsi, UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Senjata Api Gelap, dll. Kompromis yaitu menciptakan delik baru dalam KUHP dalam Bab baru tentang jenis kejahatan baru, yaitu Bab 31 A mengatur tentang kejahatan penerbangan dari pasal 479 A s/d 479 R

AIasan-alasan pembaharuan Hukum Pidana (menurut Sudarto):
  • Alasan politis, Jati diri negara merdeka dengan memiiiki KUHP nasional
  • Alasan sosiologis, Memasukkan nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia ke dalam KUHP.
  • Alasan kebutuhan praktis, Kebutuhan untuk menunjang praktek, penafsiran/penerjemahan KUHP Belanda secara subjektif menghambat praktek.

UPDATE 2026
Pembaharuan Hukum Pidana

Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR Law Office)

Berikut penjelasan lengkap dan terperinci mengenai Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, mengacu pada KUHP yang baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023):

1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci Tentang Pembaharuan Hukum Pidana

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia merupakan respon terhadap kebutuhan zaman dan dinamika masyarakat yang berkembang. KUHP lama (Wetboek van Strafrecht) merupakan warisan kolonial Belanda tahun 1918 dan telah dianggap tidak relevan dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan hukum di Indonesia saat ini. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) sebagai bentuk pembaharuan komprehensif hukum pidana nasional.

Pembaharuan ini bersifat substantif, struktural, dan kultural:

  • Secara substansi, KUHP baru memperluas dan menyesuaikan rumusan delik dengan nilai-nilai Pancasila dan norma sosial masyarakat Indonesia.

  • Secara struktur, memperjelas posisi hukum pidana nasional dalam sistem hukum Indonesia yang merdeka.

  • Secara kultural, hukum pidana diarahkan untuk mendorong keadilan restoratif, mengedepankan pemulihan dan bukan sekadar pembalasan.

Pokok-pokok penting dalam pembaharuan ini meliputi:

  • Pengakuan atas asas legalitas yang dinamis, memperbolehkan hakim menggunakan hukum tidak tertulis (living law) pada kasus tertentu.

  • Pendekatan restoratif untuk tindak pidana ringan.

  • Kriminalisasi baru terhadap perbuatan-perbuatan yang sebelumnya belum diatur (misalnya perzinaan, kohabitasi, penghinaan terhadap lembaga negara).

  • Pengenalan sistem pemidanaan yang lebih luas: pidana pokok, tambahan, dan tindakan.

  • Penegasan asas non-retroaktif, dengan pengecualian terbatas.

  • Perlindungan terhadap hak anak, perempuan, dan kelompok rentan.

2. Dasar Hukum dan Pasal yang Mengatur

Dasar hukum pembaharuan ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.

Beberapa pasal penting dalam KUHP Baru yang merefleksikan pembaharuan antara lain:

  • Pasal 2 KUHP Baru:
    Mengatur tentang berlakunya hukum tidak tertulis:
    "Dalam hal tidak terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, seseorang dapat dipidana jika menurut hukum yang hidup dalam masyarakat perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana."
    Penjelasan: Pasal ini mengakomodasi nilai hukum adat/lokal yang masih hidup, tetapi penerapannya harus memenuhi prinsip kehati-hatian dan kejelasan hukum.

  • Pasal 15-16 KUHP Baru:
    Mengenai pidana bersyarat dan pendekatan restoratif.
    Pidana dapat tidak dijalankan apabila pelaku memenuhi syarat tertentu (seperti tidak mengulangi perbuatan selama masa percobaan).

  • Pasal 98-100 KUHP Baru:
    Mengatur sistem pemidanaan: pidana pokok, tambahan, dan tindakan.
    Ini memperluas opsi sanksi seperti rehabilitasi, pembinaan, pelatihan kerja, pembatasan kebebasan, dan sebagainya.

  • Pasal 218-220 KUHP Baru:
    Tentang delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
    “Setiap orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan.”
    Delik ini adalah delik aduan, artinya hanya bisa diproses bila ada laporan dari pihak yang dihina.

3. Contoh Kasus Berdasarkan KUHP Baru

Kasus: Penghinaan terhadap Presiden melalui media sosial

Seseorang membuat unggahan di media sosial yang menyebut Presiden dengan istilah merendahkan dan menyandingkannya dengan kata-kata tidak senonoh. Unggahan itu viral dan menimbulkan reaksi publik. Presiden kemudian melaporkan secara resmi kepada kepolisian.

Tindakan ini masuk dalam ketentuan Pasal 218 KUHP Baru, yaitu penghinaan terhadap Presiden/Wapres sebagai delik aduan. Dalam KUHP lama, penghinaan terhadap Presiden tidak bisa diproses secara efektif karena Mahkamah Konstitusi pernah menyatakan pasal serupa bertentangan dengan konstitusi karena membuka peluang kriminalisasi kebebasan berpendapat.

Namun, dalam KUHP baru, pasal serupa dihidupkan kembali dengan format delik aduan, artinya proses hukum baru berjalan jika Presiden sendiri yang melapor, bukan atas inisiatif penyidik.

Contoh kasus semacam ini menekankan bahwa dalam pembaharuan KUHP, unsur formil dan asas proporsionalitas menjadi penting, termasuk perlindungan terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.

4. Proses Peradilan Pidana (Jika Relevan)

Proses Penanganan Tindak Pidana dalam Kasus Penghinaan Presiden (Pasal 218 KUHP Baru):

  • Penyelidikan: Dilakukan oleh penyelidik polisi setelah menerima laporan resmi dari Presiden. Pada tahap ini dicari apakah ada tindak pidana dan siapa pelakunya.

  • Penyidikan: Jika ditemukan cukup bukti, kasus ditingkatkan ke penyidikan. Penyidik melakukan pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan barang bukti (misalnya ponsel, akun medsos), hingga penetapan tersangka.

  • Penuntutan: Jaksa Penuntut Umum menyusun surat dakwaan dan membawa perkara ke pengadilan.

  • Persidangan: Pengadilan akan memeriksa fakta, alat bukti, dan keterangan saksi. Hakim mempertimbangkan apakah unsur Pasal 218 terpenuhi, termasuk adanya aduan resmi.

  • Putusan: Jika terbukti, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau denda sesuai ketentuan. Jika tidak, terdakwa dibebaskan.

  • Upaya Hukum: Jika tidak puas, terdakwa atau jaksa dapat mengajukan banding, kasasi, atau PK ke Mahkamah Agung.

5. Perlindungan Hukum oleh Pengacara atau Kuasa Hukum

Pengacara/advokat dapat melakukan pembelaan dengan pendekatan sebagai berikut:

  • Mengajukan eksepsi atas formil dakwaan, misalnya bahwa aduan tidak sah karena tidak langsung dari Presiden (syarat delik aduan).

  • Mengevaluasi alat bukti seperti keaslian akun, konteks pernyataan, atau niat merendahkan.

  • Menggiring pembelaan ke arah konstitusional: bahwa pernyataan merupakan bagian dari kritik yang dilindungi UUD 1945 (Pasal 28E tentang kebebasan berpendapat).

  • Mengupayakan restorative justice, jika memungkinkan untuk menyelesaikan di luar pengadilan.

  • Mengajukan keberatan terhadap prosedur penyitaan atau penangkapan yang tidak sah, jika ditemukan pelanggaran HAM prosedural.

6. Kesimpulan dan Hambatan

Pembaharuan hukum pidana Indonesia melalui KUHP Baru adalah langkah besar menuju sistem hukum yang sesuai nilai-nilai lokal dan prinsip-prinsip modern. Beberapa pembaharuan memperkenalkan pendekatan progresif seperti keadilan restoratif dan penghormatan terhadap hukum adat.

Namun, tantangan yang mungkin dihadapi antara lain:

  • Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap norma baru, termasuk penerapan pasal-pasal yang multitafsir seperti delik penghinaan.

  • Potensi kriminalisasi terhadap ekspresi masyarakat, terutama dalam ranah kebebasan berpendapat.

  • Sosialisasi yang belum merata, sehingga masyarakat belum sepenuhnya memahami hak dan kewajibannya dalam KUHP baru.

  • Tumpang tindih dengan peraturan sektoral, misalnya dengan UU ITE, yang bisa menimbulkan dualisme pasal.

KUHP baru memang sudah disahkan, tetapi belum berlaku efektif sebelum 3 tahun setelah pengesahan, yaitu pada tahun 2026, sehingga masa transisi ini menjadi masa penting untuk edukasi, pelatihan aparat, dan revisi undang-undang sektoral.

Konsultasi Hukum :
Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum

Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Rekan)
KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan dengan pengawasan Advokat/Pengacara & Konsultan Hukum Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Partners)... Save Link - Andi AM