View All KONSULTASI HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 30 April 2025, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan (UPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara serta Memperbaharui seluruh artikel lama dengan aturan Perundang-undangan terbaru.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Hukum Pidana , Ilmu Hukum » Pandangan Dualistis (pandangan modern) Hukum Pidana

Pandangan Dualistis (pandangan modern) Hukum Pidana

Pandangan Dualistis (pandangan modern)
Pandangan ini dipengaruhi oleh aliran neoklasik dan Tokohnya: Pompe, Prof. Moeljatno, dll. Pandangan ini memisahkan tindak pidana di satu pihak dengan pertanggungjawaban di lain pihak. 

Adanya pemisahan ini mengandung konsekuensi bahwa untuk mempidana seseorang tidak cukup kalau orang tersebut hanya telah melakukan tindak pidana saja melainkan masih dibutuhkan satu syarat lagi yaitu apakah orang tersebut terbukti kesalahannya (ini menyangkut pertanggungjawaban pidana); mengandung asas kesalahan.
 
OIeh karena itu pandangan ini menyatakan bahwa pidana mengacu pada orang tanpa melupakan perbuatannya, yang dianut saat ini dan yang akan datang. Pandangan dualistis nampak pada definisi Hukum Pidana menurut Moeljatno yaitu :
“Hukum Pidana adalah bagian dari hukum yang memberikan aturan-aturan dan dasar-dasar :
  • Perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan dan dilarang. Kepada yang melanggar larangan dikenakan sanksi pidana. Berkenaan dengan perbuatan pidana.
  • Kapan dan dalam hal apa pengenaan atau penjatuhan pidana dapat dikenakan kepada orang yang melanggar larangan tersebut. Bcrkenaan dengan pertanggungjawaban.
Tegasnya bagian pertama definisi Moeljatno itu menyangkut tindak pidana (criminal act), bagian keduanya menyangkut pertanggungjawaban tindak pidana (responsibility).
Bagian 1 dan 2 disebut Hukum Pidana materiil (substantie/criminal law).


UPDATE 2026
Pandangan Dualistis (Pandangan Modern)
dalam Hukum Pidana di Indonesia

Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR Law Office)

Berikut penjelasan lengkap mengenai Pandangan Dualistis (Pandangan Modern) dalam Hukum Pidana di Indonesia, dengan cakupan aspek teoretis, dasar hukum, hingga contoh penerapannya:

1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci Tentang Pandangan Dualistis

Pandangan dualistis dalam hukum pidana merupakan suatu pandangan modern yang memisahkan secara jelas antara dua komponen utama dalam tindak pidana, yaitu perbuatan pidana (acte strafbaar) dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

Artinya, dalam perspektif ini, seseorang baru dapat dipidana apabila memenuhi dua unsur berikut:

  1. Telah melakukan perbuatan pidana (unsur objektif), yaitu perbuatannya memenuhi rumusan delik yang diatur dalam undang-undang.

  2. Dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (unsur subjektif), artinya pelaku dianggap memiliki kesadaran, kehendak, dan tidak dalam kondisi yang menghapus pertanggungjawaban pidana (misalnya gila, dipaksa, atau dalam keadaan darurat).

Pandangan ini muncul sebagai kritik terhadap pandangan monistis (klasik) yang menyamakan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Dalam sistem monistis, jika seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka otomatis dia dianggap harus dipidana.

Pandangan dualistis lebih mempertimbangkan keadilan substantif, psikologis pelaku, serta kondisi-kondisi khusus yang dapat menghapus atau mengurangi kesalahan.

Implikasi dari pandangan ini adalah penguatan terhadap perlindungan hak-hak individu serta peluang penerapan sistem keadilan yang lebih manusiawi, seperti keadilan restoratif, rehabilitasi, dan alternatif pemidanaan.

2. Dasar Hukum atau Isi Pasal yang Mengatur

Pandangan dualistis tercermin dalam struktur hukum pidana Indonesia saat ini, terutama dalam KUHP Baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023), yang secara eksplisit membedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Rumusannya dapat ditemukan dalam pasal-pasal berikut:

  • Pasal 37 KUHP Baru:

    "Seseorang hanya dapat dipidana jika ia melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya."

  • Pasal 38 KUHP Baru:

    "Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dibebankan kepada orang yang:
    a. belum cukup umur sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini,
    b. mengalami gangguan jiwa atau terganggu perkembangan akalnya,
    c. melakukan perbuatan karena keadaan memaksa atau dalam pembelaan terpaksa yang sah, atau
    d. tidak memiliki kesalahan."

Pasal-pasal ini jelas menunjukkan bahwa tidak semua orang yang melakukan perbuatan pidana otomatis bisa dipidana. Harus diuji pula apakah orang tersebut layak untuk dipertanggungjawabkan secara pidana, sejalan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

3. Contoh Kasus Beserta Penjelasannya

Contoh Kasus: Seorang penderita gangguan jiwa menusuk pejalan kaki di tempat umum.

Pada suatu malam, A, yang diketahui mengalami skizofrenia berat dan tidak dalam pengobatan, menusuk seorang pejalan kaki tanpa motif jelas. Korban luka berat dan melapor ke polisi. Pelaku ditangkap oleh warga dan diserahkan ke pihak berwajib.

Dalam proses penyidikan, diperoleh keterangan medis bahwa A menderita gangguan jiwa berat yang membuatnya tidak mampu membedakan realitas dan tidak bisa mengendalikan kehendaknya saat melakukan perbuatan.

Maka:

  • Perbuatan A memenuhi unsur perbuatan pidana (menusuk orang adalah tindak pidana penganiayaan berat, Pasal 480 KUHP Baru).

  • Namun, A tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena termasuk dalam pengecualian pertanggungjawaban pidana (Pasal 38 huruf b KUHP Baru).

Putusan yang dapat dijatuhkan bukan pidana penjara, melainkan tindakan lain berupa perawatan di rumah sakit jiwa atau pengawasan khusus.

Hal ini menunjukkan penerapan pandangan dualistis: seseorang melakukan tindak pidana, tetapi belum tentu dipidana jika ia tidak layak dimintai pertanggungjawaban pidana.

4. Proses Peradilan Terkait Tindak Pidana Tersebut

Proses peradilan terhadap kasus seperti di atas tetap melalui tahapan hukum pidana biasa, dengan beberapa pengecualian yang sesuai dengan prinsip-prinsip KUHP Baru dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa:

  • Penyelidikan dan Penyidikan: Polisi melakukan pemeriksaan awal, termasuk observasi perilaku pelaku. Jika ada indikasi gangguan mental, dilakukan rujukan ke psikiater.

  • Pemeriksaan Psikologis: Dilakukan visum psikiatrikum atau asesmen medis untuk menentukan kondisi jiwa pelaku saat peristiwa terjadi.

  • Penuntutan oleh Jaksa: Jika pelaku dianggap tidak mampu bertanggung jawab secara pidana, jaksa dapat mengajukan permohonan tindakan perawatan ke pengadilan, bukan tuntutan pidana biasa.

  • Persidangan: Hakim dapat memutus untuk tidak menjatuhkan pidana, melainkan memerintahkan tindakan perawatan jiwa sesuai dengan rekomendasi medis dan ketentuan Pasal 100 dan 103 KUHP Baru.

  • Evaluasi Berkala: Tindakan berupa perawatan dapat dievaluasi dan dicabut jika pelaku dinyatakan pulih.

Proses ini menunjukkan fleksibilitas hukum pidana modern yang tidak semata-mata menghukum, tapi menyesuaikan dengan kondisi pelaku.

5. Perlindungan Hukum atau Upaya Hukum dari Pengacara

Peran pengacara dalam kasus ini sangat vital untuk:

  • Memastikan hak-hak pelaku tetap dihormati, meskipun ia mengalami gangguan jiwa.

  • Membantu proses pembuktian kondisi medis, termasuk pengajuan permintaan observasi ke lembaga kesehatan jiwa.

  • Menyusun pembelaan berdasarkan ketentuan pengecualian pertanggungjawaban pidana, yang dikenal dalam teori sebagai alasan pemaaf atau pembenar.

  • Mengajukan keberatan jika proses hukum berlangsung tanpa pemeriksaan medis yang sah.

  • Melindungi keluarga pelaku dari stigma dan dampak hukum lanjutan.

  • Jika hakim tetap menjatuhkan pidana, advokat dapat mengajukan banding atau kasasi atas dasar salah penerapan hukum.

6. Kesimpulan dan Hambatan

Pandangan dualistis dalam hukum pidana modern membawa paradigma yang lebih adil dan rasional: tidak semua pelaku tindak pidana harus dipenjara, tetapi harus dilihat kemampuan mental, kesalahan, dan situasi saat perbuatan dilakukan. Ini sesuai dengan semangat KUHP Baru yang lebih menekankan pada keadilan substantif, bukan sekadar balas dendam hukum.

Namun, beberapa hambatan masih ditemukan dalam penerapan di lapangan, antara lain:

  • Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum tentang prinsip dualistis, yang mengakibatkan semua pelaku diperlakukan sama tanpa melihat kondisi individu.

  • Minimnya fasilitas rehabilitasi atau perawatan jiwa yang memadai di berbagai daerah.

  • Tekanan publik atau media yang menghendaki pemidanaan tanpa memahami kerangka pertanggungjawaban pidana secara utuh.

Secara keseluruhan, pandangan dualistis memberi fondasi penting bagi sistem hukum pidana yang humanis dan proporsional, dan harus terus diperkuat dalam praktik peradilan Indonesia.

Konsultasi Hukum :
Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum

Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Rekan)

KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan dengan pengawasan Advokat/Pengacara & Konsultan Hukum Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Partners)... Save Link - Andi AM