View All MAKALAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 18 Oktober 2017, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Artikel Update Terbaru , Hukum Pidana , Ilmu Hukum » Landasan Konstitusional KUHAP

Landasan Konstitusional KUHAP

Landasan Konstitusional KUHAP:
Landasan Konstitusional KUHAP adalah UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970. Landasan Hukum yang terdapat dalam UUD 1945 antara lain:
  1. Pasal 27 ayat 1 yang dengan tegas menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
  2. Memberikan perlindungan pada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. 
  3. Dalam Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (machtstaat).
Landasan Hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 antara lain:
  1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini kemudian dikuatkan kembali dalam KUHAP pada pasal 197 KUHAP sebagai landasan filosofis.
  2. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjabaran pasal ini banyak terdapat dalam KUHAP seperti:
    • Dalam pasal 50 KUHAP ditegaskan bahwa terdakwa segera mendapat pemeriksaan dan persidangan pengadilan. 
    • Dalam pasal 236 KUHAP menegaskan bahwa pelimpahan berkas perkara dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dalam tingkat banding harus dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding.
    •  Dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP diatur hal-hal untuk mempercepat proses dan biaya ringan seperti penggabungan perkara pidana dan tuntutan ganti rugi. 
  3. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Lebih lanjut diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970: ”Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-Undang”. Selanjutnya dijabarkan dalam Bab V KUHAP mulai dari pasal 16 sampai dengan pasal 49 KUHAP. 
  4. Pada pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan pula bahwa “setiap orang yang disangka, ditahan, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.

    Selanjutnya dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan: “seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 menegaskan: “Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana disebut dalam ayat 1 dapat dipidana. Ketentuan tersebut di atas lebih lanjut dijabarkan dalam Bab XII KUHAP mulai dari pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP. 
  5. Pada pasal 36 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970 ditegaskan: ”Dalam perkara pidana, seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasihat Hukum”. Selanjutnya ketentuan ini dijabarkan dalam Bab VII KUHAP mulai dari pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP.

    Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan dasar pokok sumber konstitusional dari KUHAP yang pelaksanaan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal KUHAP. Kemudian dapat diuji dan dikaitkan dengan landasan filosofis Pancasila dan landasan operasional GBHN TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978 sehingga pasal-pasal KUHAP benar-benar konsisten dan sinkron dengan kedua landasan dimaksud. 
UPDATE ARTIKEL 2017
SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
(Zaman Kemerdekaan Sampai Sekarang)
Oleh. Andi Akbar Muzfa SH

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka Indonesia telah memiliki dasar hukum yang paling utama bagi sebuah negara untuk membentuk sebuah undang-undang sendiri yang disesuaikan dengan kepentingan dan keperluan serta berdasarkan Local Wisdom Indonesia sendiri. Aturan-aturan yang berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan berdasarkan asas Konkordansi, termasuk juga didalamnya peraturan yang mengatur mengenai masalah Acara Pidana, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dinyatakan masih berlaku sebagai Hukum Nasional Indonesia selama belum ada Undang-Undang atau peraturan lain yang mencabutnya.

Dengan berdasarkan pada ketentuan tersebut maka ketentuan ketentuan yang ada dalam HIR masih berlaku dan bisa dipergunakan sebagai Hukum Acara Pidana di Pengadilan-pengadilan diseluruh Indonesia. Hal ini kemudian diperkuat dengan ketentuan pada pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951. Adanya UU Nomor 1 Drt. 1951 ini dimaksudkan untuk mengadakan Unifikasi dalam bidang Hukum Acara Pidana, yang sebelum adanya UU ini terdiri dari dua hal yakni Hukum Acara Pidana bagi Landraad serta Hukum Acara Pidana bagi Raad van Justice. Adanya dualisme hukum dalam Hukum Acara Pidana ini merupakan akibat dari adanya perbedaan antara Peradilan bagi golongan penduduk Bumi Putri dan Peradilan bagi golongan Eropa.

Walaupun UU No. 1 Drt. 1951 telah menetapkan, bahwa hanya ada satu Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia yaitu RIB, akan tetapi ketentuan yang ada dalam UU tersebut ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusi (HAM), perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh sebuah negara yang menyatakan diri sebagai sebuah Negara Hukum. Dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwasannya Indonesia adalah sebuh negara yang didasarkan atas hukum (Rechstaat) dan bukan didasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (yang didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978), maka wawasan untuk mencapa sebuah tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nusantara yang dalam bidang hukum menyatakan bahwa seluruh kepulauan Nusantara ini sebagai kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.

Oleh karena itu perlu diadakan pembangunan serta pembaharuan hukum dengan menyempurnakan peraturan perundang-undangan serta dilanjutkan dengan sebuah usaha untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum dalam bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi.

Dengan segala pertimbangan seperti yang telah penulis tuliskan diatas, maka pada tahun 1981 Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan Dewan Peerwakilan Rakyat Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, salah satu alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia seperti yang ada dalam konsideran undang-undang tersebut adalah bahwa Hukum Acara Pidana yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-undang nomor 9, (Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepenjang hal itu mengenai Hukum Acara Pidana, Perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.

Undang-Undang tersebut didasarkan pada :
  1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 27 (1) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indoensia Nomor IV/MPR/1978;
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembara Negara Nomor 2951).
Dengan keluarnya UU No. 8/1981 Tentang Hukum Acara Pidana, maka dengan tegas UU ini juga mencabut berlakunya Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan UU No. 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta semua peraturan pelaksanaannya.

Sumber,.
Catatan kuliah Mahasiswa Hukum Universits Muslim Indonesia (Makassar)
Posted by. Piymen FH UMI 06

Update by. Andi Akbar Muzfa SH
KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Kami hanyalah sekumpulan kecil dari kalangan akademisi yang senang berbagi pengetahuan melalui Blogging... Save Link - Andi AM