Landasan Filosofis KUHAP adalah berdasarkan Pancasila terutama yang berhubungan erat dengan Ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun tersangka/terdakwa adalah: Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan, sama manusia tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan, yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata adalah kehendak dan rahmat Tuhan. Mengandung arti bahwa :
- Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia.
- Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan.
- Sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali.
- Fungsi atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan amanat Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan jiwa yang terkandung dalam sila Ketuhanan, cita penegakan hukum tiada lain daripada fungsi pengabdian melaksanakan amanat Tuhan, dengan cara menempatkan setiap manusia tersangka/terdakwa sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak dan martabat kemanusiaan yang harus dilindungi dan mempunyai hak dan kedudukan untuk mempertahankan kehormatan dan martabatnya.
Fungsi penegakan hukum yang dipercayakan aparat penegak hukum berada dalam ruang lingkup amanat Tuhan, mereka harus memilliki keberanian dan kemampuan menyimak isyarat nilai keadilan yang konsisten dalam setiap penegakan hukum. Keadilan yang ditegakkan aparat penegak hukum bukanlah keadilan semaunya sendiri, tetapi merupakan wujud keadilan yang selaras dengan keinginan dan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap hukum, terhadap diri dan hati nurani dan terhadap masyarakat nusa dan bangsa berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, diharapkan setiap aparat penegak hukum harus terpatri semangat kesucian moral dalam setiap tindakan penegakan hukum, mereka harus dapat mewujudkan keadilan yang hakiki. Meskipun pada prinsipnya keadilan itu tidak dapat diwujudkan secara murni dan mutlak.
Manusia hanya mampu menemukan dan mewujudkan keadilan yang nisbi atau relatif. Kita menyadari bahwa untuk menegakkan keadilan menurut hukum (legal justice) adalah sangat sulit apalagi menegakkan keadilan moral (moral justice). Namun, untuk mencapai keadilan itu diperlukan adanya tolok ukur keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat bangsa sebagaimana halnya yang dicantumkan dalam KUHAP yaitu Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk mencapai kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 maka dibuatlah Undang-undang No.19 Tahun 1964 yang kemudian diganti dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada pasal 12 undang-undang tersebut menegaskan bahwa hukum acara pidana harus dibuat dalam undang-undang tersendiri. Dengan Amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. 06/P/U/IX/1979, maka disampaikan RUU hukum acara pidana kepada DPR RI untuk dirembukkan dalam sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuannya.
Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat II, menteri kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang RUU hukum acara pidana dalam suatu sidang Paripurna DPR RI. Pembicaraan Tingkat III dilakukan dalam sidang komisi diputuskan oleh badan musyawarah DPR RI bahwa, pembicaraan tingkat III Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dilakukan oleh gabungan komisi III dan Komisi I DPR RI. Sidang gabungan (SIGAB) komisi III dan komisi I DPR RI bersama pemerintah mulai membicarakan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana pada tanggal 24 November 1979 hingga tanggal 22 Mei 1980 di gedung DPR RI Senayan di Jakarta.
Dalam jangka waktu tersebut, sidang gabungan, menghasilkan putusan penting yang dikenal dengan sebutan “13 kesepakatan Pendapat”, yang isinya mengandung materi pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal RUU hukum acara pidana. Untuk membicarakan dan merumuskan masalah rancangan undang-undang hukum acara pidana lebih lanjut, dibentuklah tim sinkronisasi yang diberi mandate penuh oleh SIGAB. Setelah melakukan tugasnya kurang lebih selama 2 tahun, tim sinkronisasi berhasil menyelesaikan tugasnya, yaitu pada tanggal 9 September 1981. RUU hukum acara pidana tersebut disetujui oleh Sigab DPR RI.
Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah disampaikannnya pendapat DPR RI dalam sidang paripurna, maka RUU Hukum acara pidana disetujui oleh DPR untuk disahkan oleh presiden menjadi undang-undang. Pada tanggal 31 Desember 1981, presiden telah mengesahkan RUU tersebut sehingga menjadi undang-undang No. 8 Tahun 1981 (LN No.76 TLN No. 3209).
Manusia hanya mampu menemukan dan mewujudkan keadilan yang nisbi atau relatif. Kita menyadari bahwa untuk menegakkan keadilan menurut hukum (legal justice) adalah sangat sulit apalagi menegakkan keadilan moral (moral justice). Namun, untuk mencapai keadilan itu diperlukan adanya tolok ukur keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat bangsa sebagaimana halnya yang dicantumkan dalam KUHAP yaitu Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
M.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan
Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 20.
UPDATE ARTIKEL 2017
RANGKUMAN SEJARAH KUHAP (ACARA PIDANA)
Oleh. Andi Akbar Muzfa SH
Pada zaman penjajahan Belanda, kita mengenal berbagai macam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia (R. Soesilo: 1982), yaitu:
UPDATE ARTIKEL 2017
RANGKUMAN SEJARAH KUHAP (ACARA PIDANA)
Oleh. Andi Akbar Muzfa SH
Pada zaman penjajahan Belanda, kita mengenal berbagai macam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia (R. Soesilo: 1982), yaitu:
- Reglement op de rechterlijke organisatie (Reglemen organisasi kehakiman) S 1848-57, yang memuat ketetapan-ketetapan tentang organisasi dan peraturan kehakiman.
- Reglement op de strafvordering (Reglemen hukum acara pidana) S 1849-63 yang memuat hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan yang disamakan dengan mereka.
- Landgerechtsreglement (Reglemen hakim kepolisian) S 1914-317 yang memuat hukum acara di muka hakim kepolisian yang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara kecil untuk seluruh golongan penduduk.
- Inlandsch Reglement (Reglemen bumi putera) yang biasa disingkat dengan IR S 1848-16, memuat hukum acara perdata dan hukum acara pidana di hadapan pengadilan “Landraad”, bagi golongan penduduk Indonesia dan Timur Asing, hanya berlaku di wilayah Jawa dan Madura.Untuk wilayah di luar Jawa dan Madura, yang berlaku adalah “Rechtsreglement voor de Buitengewesten” S 1927-227. Inlandsch Reglement itu kemudian dengan S 1941-44 diperbaharui sehingga berubah menjadi “Herziene Inlandsch Reglement” (HIR) yang diperbaharui atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB).
Untuk mencapai kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 maka dibuatlah Undang-undang No.19 Tahun 1964 yang kemudian diganti dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada pasal 12 undang-undang tersebut menegaskan bahwa hukum acara pidana harus dibuat dalam undang-undang tersendiri. Dengan Amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. 06/P/U/IX/1979, maka disampaikan RUU hukum acara pidana kepada DPR RI untuk dirembukkan dalam sidang DPR RI guna mendapatkan persetujuannya.
Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat II, menteri kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang RUU hukum acara pidana dalam suatu sidang Paripurna DPR RI. Pembicaraan Tingkat III dilakukan dalam sidang komisi diputuskan oleh badan musyawarah DPR RI bahwa, pembicaraan tingkat III Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dilakukan oleh gabungan komisi III dan Komisi I DPR RI. Sidang gabungan (SIGAB) komisi III dan komisi I DPR RI bersama pemerintah mulai membicarakan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana pada tanggal 24 November 1979 hingga tanggal 22 Mei 1980 di gedung DPR RI Senayan di Jakarta.
Dalam jangka waktu tersebut, sidang gabungan, menghasilkan putusan penting yang dikenal dengan sebutan “13 kesepakatan Pendapat”, yang isinya mengandung materi pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal RUU hukum acara pidana. Untuk membicarakan dan merumuskan masalah rancangan undang-undang hukum acara pidana lebih lanjut, dibentuklah tim sinkronisasi yang diberi mandate penuh oleh SIGAB. Setelah melakukan tugasnya kurang lebih selama 2 tahun, tim sinkronisasi berhasil menyelesaikan tugasnya, yaitu pada tanggal 9 September 1981. RUU hukum acara pidana tersebut disetujui oleh Sigab DPR RI.
Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah disampaikannnya pendapat DPR RI dalam sidang paripurna, maka RUU Hukum acara pidana disetujui oleh DPR untuk disahkan oleh presiden menjadi undang-undang. Pada tanggal 31 Desember 1981, presiden telah mengesahkan RUU tersebut sehingga menjadi undang-undang No. 8 Tahun 1981 (LN No.76 TLN No. 3209).
Sumber,.
Catatan kuliah Mahasiswa Hukum Universits Muslim Indonesia (Makassar)
Posted by. Piymen FH UMI 06
Update by. Andi Akbar Muzfa SH
Catatan kuliah Mahasiswa Hukum Universits Muslim Indonesia (Makassar)
Posted by. Piymen FH UMI 06
Update by. Andi Akbar Muzfa SH
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|