Daftar isi :
- Pengertian Hukum Perjanjian Internasional
- Dasar Hukum dan Sumber Hukum
- Subjek Hukum Perjanjian Internasional
- Jenis-Jenis Perjanjian Internasional
- Tahapan Pembentukan Perjanjian Internasional
- Asas-Asas Penting dalam Hukum Perjanjian Internasional
- Keabsahan Perjanjian Internasional
- Pelaksanaan Perjanjian Internasional
- Perubahan, Penangguhan, dan Pengakhiran Perjanjian Internasional
- Sengketa dalam Perjanjian Internasional
1. Pengertian Hukum Perjanjian Internasional
Hukum Perjanjian Internasional adalah bagian dari hukum internasional yang secara khusus mengatur tentang segala aspek yang berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Hukum ini memberikan kerangka hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian internasional, baik dalam hal pembentukan, pelaksanaan, interpretasi, perubahan, maupun pengakhiran perjanjian tersebut. Secara normatif, hukum ini mencerminkan prinsip dasar hubungan internasional yang berlandaskan pada kesepakatan sukarela antar subjek hukum yang berdaulat dan memiliki kapasitas hukum yang setara.
Secara terminologis, hukum perjanjian internasional mengandung unsur-unsur utama yaitu adanya subjek hukum internasional yang melakukan kesepakatan, adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis, serta adanya maksud untuk menciptakan akibat hukum yang mengikat di tingkat internasional. Hukum ini bukan hanya mengatur bentuk formal dari suatu perjanjian, tetapi juga menjamin bahwa prinsip-prinsip umum hukum seperti itikad baik, kepastian hukum, dan asas keadilan tetap menjadi landasan dalam setiap proses yang terjadi dalam perjanjian internasional.
Dalam hukum perjanjian internasional, perjanjian tidak hanya dilihat sebagai kontrak biasa, melainkan sebagai alat yang menciptakan norma hukum internasional yang berlaku secara khusus bagi para pihak yang terlibat, dan dalam beberapa kasus tertentu dapat pula menciptakan norma yang berlaku secara umum (erga omnes). Oleh karena itu, pengaturan hukum perjanjian internasional bersifat sangat ketat dan sistematis untuk menjaga kepentingan hukum, stabilitas hubungan internasional, serta menghindari penyalahgunaan kesepakatan.
Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional mendefinisikan perjanjian internasional sebagai “perjanjian internasional yang dibuat antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik dalam satu atau lebih instrumen yang saling terkait dan apa pun penamaannya.” Definisi ini menekankan bahwa status hukum dari suatu perjanjian tidak tergantung pada nama dokumen (seperti traktat, piagam, protokol, konvensi, atau persetujuan), tetapi pada sifat hukum dan substansi dari perjanjian itu sendiri.
Hukum perjanjian internasional juga menetapkan bahwa suatu perjanjian baru dapat dikatakan sah dan mengikat apabila telah melalui prosedur yang sesuai, seperti perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi oleh pihak-pihak yang berwenang. Di samping itu, hukum ini menegaskan bahwa perjanjian yang bertentangan dengan norma jus cogens, yaitu norma dasar hukum internasional yang tidak dapat dikesampingkan, adalah batal demi hukum. Dengan demikian, hukum perjanjian internasional tidak hanya memfasilitasi pembentukan perjanjian, tetapi juga menjaga agar substansinya tetap dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional.
Hukum perjanjian internasional bersifat mengikat bagi para pihak yang menyatakan kesediaannya untuk terikat melalui ratifikasi atau instrumen serupa, dan setiap pelanggaran terhadap perjanjian dapat berimplikasi pada tanggung jawab internasional negara. Ini menjadikan hukum perjanjian internasional sebagai instrumen utama dalam mewujudkan keteraturan, keadilan, dan penyelesaian sengketa secara damai dalam hubungan antarnegara.
Dari sudut pandang praktis, pemahaman terhadap hukum perjanjian internasional menjadi sangat penting bagi siapa pun yang terlibat dalam urusan lintas negara, terutama dalam konteks penyusunan kontrak internasional, penanganan sengketa internasional, atau pengambilan kebijakan yang melibatkan komitmen global. Hukum ini menjadi jaminan bahwa perjanjian yang dibuat tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga dapat dilaksanakan dan dilindungi melalui mekanisme hukum internasional yang berlaku.
2. Dasar Hukum dan Sumber Hukum
1. Dasar Hukum Hukum Perjanjian Internasional
Dasar hukum adalah pijakan normatif yang memberikan legitimasi bagi eksistensi hukum perjanjian internasional itu sendiri. Dalam konteks ini, dasar hukum utama yang menjadi rujukan universal adalah Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional Tahun 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969). Konvensi ini merupakan kodifikasi resmi dan sistematis yang mengatur hukum mengenai perjanjian antarnegara, dan secara luas diterima serta dihormati oleh negara-negara di dunia.
Konvensi Wina memberikan legitimasi hukum pada seluruh tahap pembentukan, pelaksanaan, interpretasi, perubahan, hingga penghentian suatu perjanjian. Meskipun tidak semua negara menjadi pihak dalam konvensi ini, banyak ketentuan di dalamnya dianggap sebagai customary international law (hukum kebiasaan internasional) yang berlaku umum dan mengikat bagi seluruh negara, termasuk yang bukan pihak konvensi.
Di Indonesia, dasar hukum untuk perjanjian internasional juga diatur dalam ketentuan nasional, yaitu:
-
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 11 ayat (1), yang menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.
-
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang menjadi dasar hukum nasional utama yang mengatur tata cara pembuatan, pengesahan, dan pelaksanaan perjanjian internasional oleh Indonesia.
-
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang dikeluarkan untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang tersebut, seperti mekanisme ratifikasi dan implementasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional.
Secara keseluruhan, dasar hukum memberikan keabsahan bagi negara dalam membuat dan melaksanakan perjanjian internasional berdasarkan prinsip hukum yang berlaku, baik di tingkat internasional maupun domestik.
2 Sumber Hukum Hukum Perjanjian Internasional
Sumber hukum adalah segala bentuk atau asal norma yang dijadikan rujukan dalam menyusun, memahami, dan menafsirkan hukum perjanjian internasional. Dalam sistem hukum internasional, sumber hukum dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 38(1) Statuta Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice), yang menjadi rujukan utama bagi sumber hukum internasional, termasuk dalam hal perjanjian internasional.
Sumber hukum dalam konteks hukum perjanjian internasional meliputi:
-
Perjanjian Internasional itu sendiri
Ini merupakan sumber hukum utama dalam hukum perjanjian internasional. Perjanjian internasional yang dibuat secara sah, berdasarkan kesepakatan para pihak dan memuat maksud untuk menciptakan akibat hukum, adalah norma hukum yang mengikat. Perjanjian bisa bersifat bilateral (dua pihak), multilateral (lebih dari dua pihak), regional, maupun universal, dan setiap perjanjian memiliki kekuatan hukum mengikat sesuai lingkup dan ruang lingkup para pihak yang terlibat. -
Hukum Kebiasaan Internasional (Customary International Law)
Banyak prinsip dalam hukum perjanjian internasional yang berasal dari praktik negara-negara yang dilakukan secara berulang-ulang dan diterima sebagai hukum. Misalnya, prinsip pacta sunt servanda (perjanjian harus dipenuhi) adalah bagian dari hukum kebiasaan internasional yang fundamental dan berlaku universal, meskipun tidak selalu tertulis dalam suatu perjanjian. -
Asas-Asas Umum Hukum
Asas hukum umum yang diakui oleh negara-negara beradab juga menjadi sumber hukum yang berlaku dalam perjanjian internasional. Misalnya asas itikad baik, kesetaraan, dan non-retroaktivitas (tidak berlaku surut) merupakan prinsip-prinsip umum yang berlaku lintas sistem hukum dan wajib dihormati dalam setiap tahapan suatu perjanjian. -
Putusan Pengadilan Internasional
Meskipun tidak mengikat secara preseden seperti sistem hukum common law, putusan dari Mahkamah Internasional maupun badan arbitrase internasional sering dijadikan rujukan dalam menafsirkan dan memperjelas kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional. -
Doktrin atau Pendapat Sarjana Terkemuka
Pandangan dari para ahli hukum internasional yang diakui secara luas juga dapat dijadikan sumber hukum sekunder. Doktrin ini sering digunakan untuk mengisi kekosongan atau menafsirkan norma yang tidak tegas dalam praktik perjanjian internasional.
Dalam penerapannya, sumber hukum ini saling melengkapi dan digunakan secara sistematis untuk menilai validitas, keabsahan, dan efektivitas suatu perjanjian internasional. Tidak semua sumber memiliki derajat kekuatan hukum yang sama, tetapi semuanya berfungsi penting untuk memastikan bahwa perjanjian internasional dijalankan sesuai prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kestabilan hubungan antarnegara.
Dengan pemahaman yang menyeluruh terhadap dasar hukum dan sumber hukum tersebut, maka posisi dan keberlakuan suatu perjanjian internasional dapat dianalisis secara objektif dan dapat digunakan sebagai landasan hukum yang kuat dalam menangani perkara yang berkaitan dengan hubungan internasional atau keterlibatan negara dalam komitmen global.
3. Subjek Hukum Perjanjian Internasional
Subjek hukum perjanjian internasional adalah pihak-pihak yang secara hukum memiliki kapasitas untuk membuat, menerima, dan melaksanakan perjanjian internasional yang menimbulkan hak dan kewajiban di bawah hukum internasional. Pemahaman yang tepat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai subjek hukum perjanjian internasional sangat penting karena hanya pihak-pihak inilah yang secara sah dapat berpartisipasi dalam pembentukan norma hukum internasional melalui perjanjian.
Dalam hukum internasional, subjek hukum memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: memiliki hak dan kewajiban internasional, memiliki kapasitas untuk mengajukan klaim atau digugat di hadapan badan internasional, serta memiliki wewenang untuk membuat perjanjian yang mengikat berdasarkan hukum internasional. Berdasarkan karakteristik tersebut, subjek hukum perjanjian internasional dibagi menjadi beberapa kategori berikut.
1. Negara
Negara adalah subjek utama dan tradisional dalam hukum perjanjian internasional. Negara memiliki kedaulatan penuh dan kapasitas hukum penuh untuk membuat perjanjian internasional. Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki hak dan kewajiban untuk mengadakan hubungan hukum dengan negara lain dalam kerangka perjanjian, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Kapasitas negara dalam perjanjian internasional diatur dalam Konvensi Wina 1969, di mana disebutkan bahwa kepala negara, kepala pemerintahan, dan menteri luar negeri memiliki kewenangan penuh (full powers) untuk bertindak atas nama negaranya dalam membuat perjanjian.
Negara juga dapat memberikan kuasa kepada pejabat tertentu atau perwakilan diplomatiknya untuk menandatangani atau merundingkan perjanjian, sesuai dengan prosedur internal dan undang-undang nasional masing-masing. Di Indonesia, misalnya, kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
2. Organisasi Internasional
Organisasi internasional antar-pemerintah (intergovernmental organizations/IGOs), seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), dan Uni Eropa (UE), juga merupakan subjek hukum perjanjian internasional, meskipun kapasitas hukumnya tidak seluas negara. Organisasi internasional dapat membuat perjanjian dengan negara maupun dengan organisasi internasional lainnya, sepanjang hal tersebut berada dalam cakupan kewenangannya sebagaimana ditentukan oleh piagam atau traktat pembentuk organisasi tersebut.
Kapasitas organisasi internasional untuk membuat perjanjian diatur dalam dokumen pendiriannya (constituent instrument) dan juga diakui dalam praktek hukum internasional. Sebagai contoh, Piagam PBB memberikan kewenangan kepada Sekretariat dan badan-badan di bawahnya untuk menandatangani perjanjian kerja sama dengan negara-negara anggota.
3. Bangsa yang Sedang Berjuang untuk Kemerdekaan
Dalam situasi khusus, bangsa atau entitas yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional yang terbatas, dan dalam kondisi tertentu bisa membuat perjanjian dengan negara lain. Hal ini terutama terjadi pada masa dekolonisasi, di mana gerakan kemerdekaan sering kali diakui oleh masyarakat internasional dan memiliki legitimasi untuk bertindak sebagai wakil sah suatu bangsa.
Kapasitas ini bersifat terbatas dan umumnya hanya berlaku ketika komunitas internasional mengakui eksistensi serta representasi politik dari entitas tersebut. Contohnya adalah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang di masa lalu telah membuat berbagai perjanjian internasional sebelum berdirinya Negara Palestina secara formal.
4. Tahta Suci (Holy See)
Tahta Suci, yang mewakili Gereja Katolik Roma dan Vatikan, merupakan subjek hukum internasional yang unik dan historis. Meskipun wilayahnya sangat kecil secara geografis, Tahta Suci memiliki kapasitas penuh untuk membuat perjanjian internasional dan memiliki hubungan diplomatik dengan banyak negara. Kedudukannya diakui secara internasional dan telah aktif dalam berbagai perjanjian bilateral yang disebut sebagai concordat (perjanjian antara Vatikan dan suatu negara).
5. Subjek Hukum Lain dalam Keadaan Khusus
Dalam beberapa keadaan, entitas non-negara dapat memiliki kapasitas terbatas untuk membuat perjanjian internasional, tergantung pada konteks dan pengakuan internasional. Misalnya, entitas seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC) memiliki status khusus karena peran kemanusiaannya dan diakui dalam hukum humaniter internasional untuk menandatangani perjanjian kerja sama atau nota kesepahaman.
Selain itu, wilayah-wilayah yang berada di bawah penguasaan khusus atau administrasi internasional juga dalam beberapa kondisi dapat membuat perjanjian, meskipun biasanya dilakukan melalui atau dengan persetujuan dari entitas penguasa atau pengawasnya.
4. Jenis-Jenis Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah kesepakatan yang dibuat oleh dua negara atau lebih yang diatur oleh hukum internasional dan mengikat pihak-pihak yang berpartisipasi di dalamnya. Berdasarkan karakteristik dan tujuan, perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai jenis-jenis perjanjian internasional:
Perjanjian bilateral adalah perjanjian internasional yang dilakukan antara dua pihak, baik antar dua negara maupun antara satu negara dengan organisasi internasional atau antar dua organisasi internasional. Perjanjian ini mengikat kedua belah pihak yang terlibat. Bentuk perjanjian bilateral ini banyak ditemukan dalam hubungan diplomatik dan kerja sama ekonomi.
Contoh:
-
Perjanjian perdagangan bilateral antara dua negara.
-
Perjanjian penghindaran pajak berganda yang mengatur cara masing-masing negara memungut pajak dari perusahaan atau individu yang beroperasi lintas negara.
Perjanjian multilateral adalah perjanjian internasional yang melibatkan lebih dari dua pihak atau negara. Perjanjian ini mengikat banyak pihak dan biasanya berfungsi untuk mengatur isu-isu yang bersifat lebih luas dan lebih kompleks, seperti perdagangan internasional, perlindungan hak asasi manusia, atau perlindungan lingkungan hidup.
Contoh:
-
Perjanjian Paris tentang perubahan iklim yang melibatkan banyak negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
-
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang mengatur hak-hak negara terhadap wilayah laut dan sumber daya laut.
Perjanjian internasional dapat dibedakan berdasarkan keterbukaan akses untuk bergabung oleh negara-negara lain.
-
Perjanjian Terbuka adalah perjanjian yang memungkinkan negara-negara lain untuk bergabung dengan perjanjian tersebut setelah perjanjian itu disepakati oleh pihak-pihak awal. Negara-negara yang tidak menjadi pihak pada awalnya tetap memiliki kesempatan untuk bergabung di kemudian hari.
Contoh: Perjanjian Penanggulangan Terorisme Internasional yang dapat diikuti negara-negara lain setelah penandatanganan awal.
-
Perjanjian Tertutup adalah perjanjian yang hanya mengikat negara atau pihak yang telah menjadi anggota sejak awal dan tidak memberikan ruang bagi negara lain untuk bergabung setelahnya.
Contoh: Perjanjian keamanan atau pertahanan khusus antara negara-negara tertentu, yang tidak terbuka untuk negara lain.
Perjanjian internasional juga dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan prosedur pembuatan perjanjian tersebut.
-
Perjanjian Formal adalah perjanjian yang dilakukan dengan mengikuti prosedur yang ketat sesuai dengan hukum internasional, di antaranya melalui tanda tangan dan ratifikasi oleh negara yang terlibat. Perjanjian ini memiliki status hukum yang jelas dan mengikat secara internasional.
Contoh: Perjanjian perdamaian yang ditandatangani secara resmi antar negara.
-
Perjanjian Tidak Formal atau Memorandum of Understanding (MoU) adalah kesepakatan yang lebih bersifat politis atau teknis, yang tidak membutuhkan ratifikasi formal dan sering kali digunakan untuk menjalin kerja sama di bidang tertentu. Meskipun tidak mengikat secara hukum, MoU sering kali digunakan sebagai langkah awal dalam negosiasi lebih lanjut.
Contoh: Kerja sama penelitian antara dua negara yang dituangkan dalam MoU tanpa memerlukan ratifikasi.
Perjanjian internasional di bidang hak asasi manusia mengatur kewajiban negara-negara untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia dalam kerangka hukum internasional.
Contoh:
-
Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang mengatur hak-hak sipil dan politik individu di negara-negara yang menjadi pihak.
-
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD) yang mengatur negara-negara untuk mencegah dan mengatasi diskriminasi rasial.
Perjanjian ini mengatur hubungan ekonomi antar negara yang berkaitan dengan perdagangan, investasi, atau kerja sama ekonomi lainnya. Perjanjian ini bertujuan untuk menciptakan kestabilan ekonomi, meningkatkan perdagangan, atau mengatur sistem pajak dan tarif.
Contoh:
-
Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA), seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang bertujuan mengurangi tarif perdagangan antar negara-negara ASEAN.
-
Perjanjian Perdagangan Dunia atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang mengatur perdagangan global.
Perjanjian internasional yang berfokus pada perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Perjanjian-perjanjian ini berfokus pada isu-isu global yang mengancam ekosistem dan keberlanjutan planet, seperti perubahan iklim, polusi, dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Contoh:
-
Protokol Montreal yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan yang merusak lapisan ozon.
-
Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim yang disepakati oleh hampir seluruh negara di dunia untuk membatasi pemanasan global.
Perjanjian internasional ini melibatkan negara-negara dalam bidang pertahanan dan keamanan, baik untuk menjalin kerja sama di bidang militer, intelijen, atau penanggulangan ancaman bersama seperti terorisme, perang, atau serangan siber.
Contoh:
-
Perjanjian NATO (North Atlantic Treaty Organization) yang mengatur kerja sama militer antara negara-negara anggota dalam rangka pertahanan kolektif.
-
Perjanjian Perlucutan Senjata Nuklir yang mengatur pembatasan atau penghapusan senjata nuklir di dunia.
Perjanjian internasional merupakan alat penting dalam hubungan antar negara, yang mencakup berbagai aspek, mulai dari perdagangan, keamanan, hingga perlindungan hak asasi manusia. Jenis-jenis perjanjian internasional ini memberikan gambaran tentang bagaimana negara-negara bekerja sama untuk menyelesaikan masalah global, mengatur hubungan mereka, dan menjaga kedamaian serta kestabilan dunia. Pemahaman tentang jenis-jenis perjanjian ini sangat penting dalam menangani perkara hukum internasional dan memahami kewajiban serta hak yang timbul dari perjanjian tersebut.
5. Tahapan Pembentukan Perjanjian Internasional
Pembentukan perjanjian internasional adalah proses yang melibatkan serangkaian langkah yang terstruktur, yang bertujuan untuk menciptakan kesepakatan yang mengikat antara negara-negara atau pihak-pihak yang terlibat. Tahapan pembentukan perjanjian internasional ini dapat dilihat dari tahap-tahap yang dimulai dari inisiasi hingga pengesahan perjanjian tersebut oleh negara yang bersangkutan. Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai tahapan-tahapan pembentukan perjanjian internasional:
Tahapan pertama dalam pembentukan perjanjian internasional adalah inisiasi, di mana negara atau pihak yang terlibat mulai merumuskan niat untuk melakukan perjanjian. Pada tahap ini, proses negosiasi dimulai, baik itu antarnegara, antar organisasi internasional, atau antara negara dan organisasi internasional.
Negosiasi dapat dimulai dengan:
-
Pertemuan diplomatik antar negara untuk mendiskusikan isu yang ingin diatur oleh perjanjian.
-
Penyusunan draf awal yang memuat pokok-pokok perjanjian yang akan dibahas, termasuk hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Dalam tahapan ini, diplomat atau perwakilan negara memulai pembicaraan mengenai pokok-pokok perjanjian yang diinginkan dan mencoba untuk mencapai kesepakatan awal mengenai syarat-syarat perjanjian.
Pada tahap ini, negara-negara atau pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional melakukan perundingan intensif untuk mencapai konsensus mengenai isi perjanjian. Proses ini bisa berlangsung cukup lama, tergantung pada kompleksitas isu yang dibahas. Perundingan dilakukan secara langsung antara delegasi negara atau dengan bantuan pihak ketiga, seperti mediator atau organisasi internasional.
Selama proses perundingan, berbagai aspek teknis dan substansial dari perjanjian, termasuk hak dan kewajiban masing-masing pihak, dirundingkan dan disesuaikan. Pihak-pihak yang terlibat seringkali memberikan proposal dan revisi terhadap draf awal yang telah disiapkan.
Pada akhirnya, setelah mencapai kesepakatan mengenai pokok-pokok perjanjian, sebuah draf final akan disiapkan untuk dibahas lebih lanjut oleh pihak-pihak yang terlibat.
Setelah tercapainya kesepakatan dalam perundingan, perjanjian internasional akan dituangkan dalam bentuk draf yang telah disetujui oleh semua pihak yang terlibat. Penandatanganan perjanjian dilakukan oleh perwakilan negara atau kepala negara yang memiliki kewenangan untuk mewakili negara mereka. Penandatanganan perjanjian ini menandakan bahwa pihak-pihak yang terlibat telah sepakat dengan isi perjanjian dan bersedia untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa penandatanganan perjanjian tidak serta-merta mengikat negara-negara tersebut. Penandatanganan hanya menunjukkan komitmen awal dan kesediaan untuk melanjutkan proses ratifikasi.
Ratifikasi adalah tahap di mana perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh perwakilan negara perlu disetujui oleh lembaga legislatif negara (misalnya, parlemen atau DPR) agar dapat mengikat secara hukum di dalam negara tersebut. Proses ratifikasi ini memberikan validitas hukum domestik terhadap perjanjian internasional yang telah disepakati.
Setiap negara memiliki prosedur yang berbeda untuk proses ratifikasi. Beberapa negara memerlukan persetujuan parlemen atau badan legislatif, sementara yang lain mungkin memiliki prosedur yang lebih singkat, di mana ratifikasi dapat dilakukan oleh eksekutif saja. Proses ini biasanya melibatkan:
-
Pemrosesan hukum domestik, di mana perjanjian akan disesuaikan dengan konstitusi dan hukum negara yang bersangkutan.
-
Pengesahan parlemen, jika diperlukan, untuk memberikan persetujuan resmi terhadap perjanjian.
Setelah proses ratifikasi selesai, perjanjian internasional tersebut menjadi mengikat secara hukum bagi negara yang meratifikasinya.
Setelah proses ratifikasi, negara akan melakukan pengumuman resmi mengenai keberlakuan perjanjian internasional tersebut. Perjanjian ini akan dipublikasikan kepada publik dan negara lain yang terlibat. Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh pihak yang berkepentingan mengetahui adanya perjanjian dan kewajiban yang timbul darinya.
Publikasi ini biasanya dilakukan melalui:
-
Jurnal hukum atau publikasi resmi negara.
-
Situs web kementerian luar negeri atau badan resmi yang menangani urusan internasional.
-
Pemberitahuan kepada negara-negara terkait atau organisasi internasional yang mungkin terlibat dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.
Publikasi juga mencakup penerbitan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh publik dan pihak-pihak yang terlibat, untuk memastikan transparansi dan kesadaran akan kewajiban hukum yang timbul.
Tahap terakhir dari pembentukan perjanjian internasional adalah implementasi dan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam praktik internasional. Pada tahap ini, negara yang terlibat dalam perjanjian harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa kewajiban yang tercantum dalam perjanjian tersebut dilaksanakan dengan baik.
Pelaksanaan dapat mencakup:
-
Pembentukan regulasi atau undang-undang domestik yang mendukung penerapan perjanjian internasional.
-
Pengawasan dan penegakan hukum untuk memastikan bahwa kewajiban yang ada dalam perjanjian internasional ditegakkan di tingkat nasional.
Beberapa perjanjian internasional, seperti yang mengatur hak asasi manusia atau lingkungan hidup, memerlukan pengawasan dan evaluasi yang berkelanjutan oleh lembaga internasional atau badan pengawas lainnya.
Pembentukan perjanjian internasional melibatkan serangkaian tahapan yang kompleks, mulai dari negosiasi, penandatanganan, hingga ratifikasi dan implementasi. Masing-masing tahap ini memastikan bahwa perjanjian tersebut memiliki dasar hukum yang kuat dan dapat dilaksanakan secara efektif oleh negara-negara yang terlibat. Pemahaman yang baik tentang tahapan ini sangat penting dalam konteks hukum internasional, baik untuk menangani perkara hukum internasional maupun untuk memahami kewajiban negara dalam perjanjian yang telah diratifikasi.
6. Asas-Asas Penting dalam Hukum Perjanjian Internasional
Hukum perjanjian internasional mengatur hubungan antarnegara atau antarpihak yang terlibat dalam perjanjian, baik itu dalam bentuk bilateral (antara dua negara) maupun multilateral (antara lebih dari dua negara). Sebagai bagian dari hukum internasional, terdapat beberapa asas yang menjadi landasan penting dalam pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan perjanjian internasional. Berikut adalah penjelasan lengkap tentang asas-asas penting dalam hukum perjanjian internasional.
Asas pacta sunt servanda merupakan salah satu asas yang paling fundamental dalam hukum perjanjian internasional. Asas ini mengandung prinsip bahwa setiap perjanjian yang sah harus dihormati dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang terlibat. Secara sederhana, ini berarti bahwa perjanjian internasional yang telah dibuat dan diratifikasi oleh negara-negara yang terlibat harus dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa ada pelanggaran atau pengingkaran oleh pihak yang terlibat.
Prinsip pacta sunt servanda menunjukkan bahwa perjanjian internasional mengikat secara hukum dan tidak dapat diubah atau dibatalkan begitu saja oleh salah satu pihak tanpa alasan yang sah. Perjanjian tersebut harus dijalankan sesuai dengan isi dan ketentuan yang telah disepakati, kecuali terdapat keadaan luar biasa yang diatur dalam perjanjian itu sendiri yang memperbolehkan pengubahannya.
Asas kedaulatan negara berkaitan dengan prinsip bahwa setiap negara memiliki kewenangan penuh atas wilayah dan urusan domestiknya. Dalam konteks perjanjian internasional, asas ini menegaskan bahwa negara-negara bebas untuk bernegosiasi dan membuat perjanjian internasional sesuai dengan kehendak dan kepentingan nasional mereka, sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional.
Dengan adanya asas ini, negara memiliki hak untuk memilih apakah akan terikat atau tidak oleh suatu perjanjian internasional, dan juga untuk menentukan bagaimana melaksanakan perjanjian tersebut di dalam negeri mereka. Meski begitu, asas ini juga harus diimbangi dengan penghormatan terhadap kewajiban internasional yang telah disepakati.
Perjanjian internasional pada umumnya hanya dapat dihasilkan apabila terdapat kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang terlibat. Asas konsensus ini menekankan bahwa perjanjian internasional harus didasarkan pada kehendak bebas dari semua pihak yang terlibat. Tidak ada pihak yang dapat dipaksa untuk membuat perjanjian, dan setiap pihak memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah mereka ingin terlibat atau tidak dalam suatu perjanjian.
Asas ini sangat penting karena memastikan bahwa perjanjian internasional mencerminkan keinginan bersama para pihak yang terlibat, dan tidak dapat dipaksakan oleh pihak yang lebih kuat atau dominan.
Asas itikad baik atau good faith mengharuskan setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional untuk bertindak dengan itikad baik dalam proses pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan perjanjian tersebut. Artinya, semua pihak harus memiliki niat yang jujur dan tidak melakukan tindakan yang merugikan pihak lain secara tidak sah.
Dalam konteks hukum perjanjian internasional, asas ini mengharuskan para pihak untuk berusaha menyelesaikan sengketa yang mungkin muncul secara damai dan berdasarkan prinsip saling menghormati. Asas itikad baik juga mengatur bahwa pihak yang berperan dalam perjanjian internasional tidak boleh bertindak curang, menyalahgunakan wewenang, atau mengingkari kewajiban yang telah disepakati.
Asas ini mengharuskan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian internasional untuk mematuhi norma-norma hukum internasional yang lebih tinggi, yang berlaku di luar perjanjian itu sendiri. Dalam hal ini, meskipun negara-negara dapat menyepakati perjanjian internasional yang spesifik, mereka tetap harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional yang lebih mendasar, seperti perlindungan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, dan penggunaan kekuatan yang sah.
Artinya, meskipun negara-negara memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian internasional, mereka tidak bisa bertindak bertentangan dengan hukum internasional yang lebih umum yang sudah diterima secara luas oleh komunitas internasional.
Asas non-intervensi mengandung prinsip bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan internal negara lain, termasuk dalam konteks perjanjian internasional. Dalam pembentukan dan pelaksanaan perjanjian internasional, setiap pihak harus menghindari tindakan yang dapat mengganggu kedaulatan negara lain atau campur tangan dalam urusan domestik negara tersebut, kecuali jika ada kesepakatan bersama yang memerlukan tindakan semacam itu.
Namun, ada beberapa pengecualian, seperti ketika perjanjian internasional mengatur tentang kerja sama internasional dalam hal keamanan internasional, penghindaran konflik, atau penanggulangan kejahatan lintas negara.
Asas ini menyatakan bahwa perjanjian internasional yang sah mengikat dan berlaku bagi negara-negara yang telah meratifikasinya. Dengan demikian, perjanjian internasional tidak hanya berlaku antara negara-negara yang terlibat, tetapi juga dapat memiliki efek jangka panjang dan berlaku secara universal bagi negara-negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.
Meskipun begitu, setiap negara berhak untuk membuat keputusan terkait dengan partisipasi mereka dalam perjanjian internasional, namun setelah mereka meratifikasi perjanjian tersebut, mereka wajib mematuhi ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut.
Asas terbuka atau openness mengandung prinsip bahwa perjanjian internasional sebaiknya bersifat terbuka dan dapat diakses oleh negara-negara lain yang tertarik untuk berpartisipasi. Dalam banyak kasus, perjanjian internasional memiliki klausul yang memungkinkan negara lain untuk bergabung atau terlibat dalam perjanjian tersebut jika mereka ingin melakukannya, sehingga memastikan bahwa perjanjian tersebut tidak hanya bersifat tertutup untuk beberapa negara tertentu saja.
Asas-asas dalam hukum perjanjian internasional membentuk dasar untuk hubungan yang saling menghormati antarnegara dan antar pihak internasional. Asas-asas tersebut memastikan bahwa perjanjian yang dibuat dapat dipatuhi, dilaksanakan dengan baik, dan tidak merugikan pihak lain. Memahami asas-asas ini adalah kunci untuk menangani perkara yang berkaitan dengan perjanjian internasional dan memastikan bahwa negara-negara yang terlibat dapat menjalankan kewajiban internasional mereka dengan penuh tanggung jawab dan dalam kerangka hukum yang sah.
7. Keabsahan Perjanjian Internasional
Keabsahan perjanjian internasional adalah kondisi sah atau tidaknya suatu perjanjian untuk mengikat secara hukum para pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks hukum internasional, perjanjian tidak hanya harus dibuat oleh subjek hukum internasional yang berwenang, tetapi juga harus memenuhi syarat-syarat hukum yang ditentukan agar memiliki kekuatan mengikat. Keabsahan suatu perjanjian menentukan apakah perjanjian tersebut dapat diberlakukan, dituntut pelaksanaannya, atau justru dinyatakan batal demi hukum.
Secara umum, keabsahan perjanjian internasional diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, yang menjadi acuan utama bagi praktik negara-negara dalam merumuskan, menyepakati, dan memberlakukan perjanjian internasional.
Sebuah perjanjian internasional hanya sah apabila dibuat oleh subjek hukum internasional yang sah, biasanya negara atau organisasi internasional, melalui wakil-wakil yang memiliki kewenangan penuh. Kewenangan ini biasanya dibuktikan dengan surat kuasa atau full powers. Dalam konteks negara, pejabat tinggi seperti Presiden, Menteri Luar Negeri, atau duta besar yang ditunjuk secara resmi dapat melakukan tindakan atas nama negara dalam perundingan dan penandatanganan perjanjian.
Jika seseorang yang tidak memiliki wewenang mewakili suatu negara dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan tidak sah, kecuali negara tersebut menyatakan penerimaannya terhadap tindakan tersebut secara eksplisit setelahnya.
Persetujuan yang bebas atau free consent adalah syarat mutlak bagi keabsahan perjanjian internasional. Artinya, semua pihak yang terlibat harus memberikan persetujuan tanpa adanya unsur paksaan, ancaman, atau tipu daya. Apabila persetujuan diperoleh melalui cara-cara yang tidak sah seperti pemaksaan militer, tekanan politik, atau penipuan, maka perjanjian tersebut batal atau dapat dibatalkan.
Pasal 52 Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa perjanjian yang diperoleh melalui ancaman atau penggunaan kekerasan bertentangan dengan prinsip Piagam PBB dan oleh karena itu batal demi hukum.
Suatu perjanjian internasional hanya sah apabila tujuan dan isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum, termasuk Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, hukum kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip jus cogens (norma yang tidak dapat dikesampingkan). Perjanjian yang isinya bertentangan dengan norma jus cogens seperti perbudakan, penyiksaan, genosida, atau agresi militer dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Pasal 53 Konvensi Wina secara tegas menyatakan bahwa perjanjian yang bertentangan dengan norma jus cogens adalah null and void (batal demi hukum) sejak awal.
Agar perjanjian internasional sah, harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional masing-masing negara. Dalam konteks Indonesia, misalnya, perjanjian internasional tertentu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum dapat diratifikasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Tahapan seperti negosiasi, penandatanganan, ratifikasi, pengesahan, serta pendaftaran pada organisasi internasional (seperti Sekretariat Jenderal PBB) harus dilakukan secara sah dan tertib. Apabila prosedur ini tidak dilakukan dengan benar, maka keabsahan perjanjian dapat dipertanyakan dan berpotensi tidak mengikat secara hukum.
Selain syarat adanya persetujuan yang bebas, keabsahan juga bergantung pada tidak adanya cacat kehendak (vitiated consent). Cacat kehendak ini bisa berupa kekeliruan (error), penipuan (fraud), penyalahgunaan kedudukan (corruption), atau tekanan yang tidak wajar. Bila terbukti ada cacat dalam pembentukan kehendak salah satu pihak, maka negara tersebut dapat membatalkan keterikatannya pada perjanjian.
Konvensi Wina memberikan kemungkinan untuk membatalkan perjanjian jika cacat kehendak ini memengaruhi substansi perjanjian atau mempengaruhi keputusan suatu negara dalam menandatangani atau meratifikasi perjanjian.
Dalam banyak perjanjian internasional, ratifikasi merupakan langkah penting untuk mengesahkan perjanjian dan menyatakan bahwa negara bersedia untuk terikat secara hukum terhadap isi perjanjian tersebut. Ratifikasi adalah tindakan hukum yang bersifat internal, yang memperkuat dan mengesahkan komitmen suatu negara terhadap perjanjian yang telah ditandatangani.
Tidak semua perjanjian memerlukan ratifikasi, tetapi untuk perjanjian yang bersifat penting dan strategis, ratifikasi sering kali menjadi syarat wajib. Jika ratifikasi belum dilakukan, maka secara hukum internasional, negara tersebut belum sepenuhnya terikat pada kewajiban yang tertuang dalam perjanjian.
Keabsahan suatu perjanjian juga ditentukan oleh apakah perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan perjanjian lain yang telah lebih dahulu berlaku dan mengikat pihak-pihak yang sama. Dalam beberapa kasus, perjanjian baru bisa menggantikan perjanjian lama jika hal tersebut disepakati oleh para pihak. Namun apabila tidak ada kesepakatan untuk penggantian, dan isinya saling bertentangan, maka keabsahan perjanjian baru bisa dipertanyakan.
Untuk mencegah konflik hukum, negara sering kali menyertakan klausul pengakhiran (termination clause) atau klausul keberlakuan (supersession clause) yang menjelaskan hubungan antara perjanjian baru dan lama.
Dalam perjanjian multilateral, keabsahan dapat terpengaruh oleh keberatan (reservation) yang diajukan oleh negara lain terhadap isi perjanjian. Negara bisa menyatakan keberatan terhadap pasal tertentu tanpa menolak seluruh perjanjian. Namun, jika keberatan tersebut menyangkut pasal fundamental atau inti dari perjanjian, maka keikutsertaan negara tersebut bisa dianggap tidak sah atau tidak berlaku penuh, tergantung pada kesepakatan para pihak.
Dalam praktiknya, keberatan hanya diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian secara keseluruhan.
Keabsahan perjanjian internasional bergantung pada terpenuhinya sejumlah unsur penting, antara lain subjek yang sah, persetujuan yang bebas, objek yang tidak melanggar hukum internasional, serta prosedur hukum yang sesuai. Jika salah satu unsur ini tidak dipenuhi, perjanjian tersebut bisa dianggap cacat hukum, dibatalkan, atau tidak berlaku. Oleh karena itu, dalam menangani perkara yang melibatkan perjanjian internasional, penting untuk menelusuri seluruh aspek keabsahan ini secara rinci untuk memastikan kedudukan hukum yang kuat dan sah bagi pihak yang diwakili.
8. Pelaksanaan Perjanjian Internasional
Pelaksanaan perjanjian internasional adalah tahap krusial dalam siklus hidup sebuah perjanjian, karena pada tahap inilah perjanjian mulai berlaku secara efektif dan para pihak diwajibkan untuk melaksanakan isi perjanjian sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Dalam hukum internasional, pelaksanaan (implementation) perjanjian bukan hanya bersifat moral, tetapi bersifat hukum yang mengikat dan menimbulkan tanggung jawab internasional bagi negara yang melanggarnya.
Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional menekankan bahwa setiap perjanjian yang telah sah dan berlaku wajib dilaksanakan dengan itikad baik atau dikenal dengan asas pacta sunt servanda. Pelaksanaan perjanjian menjadi tolok ukur keseriusan suatu negara dalam menjunjung tinggi komitmen internasionalnya serta menjadi bagian dari tatanan hukum internasional yang teratur.
Pelaksanaan perjanjian internasional harus selalu merujuk pada asas utama yaitu pacta sunt servanda. Asas ini menegaskan bahwa setiap perjanjian yang sah mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ini berarti tidak cukup hanya menyetujui perjanjian secara formal, tetapi negara juga memiliki kewajiban nyata untuk mematuhi dan menjalankan isi perjanjian.
Dalam konteks ini, negara tidak boleh mengajukan alasan-alasan hukum nasional untuk menghindari pelaksanaan kewajiban internasional. Artinya, hukum nasional tidak boleh dijadikan dalih untuk tidak melaksanakan kewajiban dari perjanjian yang telah disetujui secara internasional.
Setelah suatu perjanjian diratifikasi dan diberlakukan, negara peserta terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Hal ini mencakup:
-
Melaksanakan tindakan-tindakan konkret sesuai isi perjanjian
-
Tidak mengambil tindakan yang bertentangan dengan isi perjanjian
-
Menghindari tindakan yang dapat menggagalkan tujuan dan maksud perjanjian
Jika terdapat ketentuan dalam perjanjian yang memerlukan langkah legislasi, maka negara harus menyesuaikan peraturan nasional agar sejalan dengan ketentuan dalam perjanjian. Contohnya, negara harus menyusun atau merevisi undang-undang agar dapat mengimplementasikan isi perjanjian ke dalam sistem hukumnya.
Pelaksanaan perjanjian internasional dalam negara sering kali memerlukan proses hukum nasional yang disebut implementasi domestik atau transposisi. Di Indonesia, hal ini berarti bahwa perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional, seperti peraturan pemerintah atau undang-undang, agar dapat dijadikan dasar hukum dalam penerapan di tingkat nasional.
Transposisi ini sangat penting, terutama jika isi perjanjian menyangkut hak dan kewajiban warga negara, sektor publik, atau swasta. Dengan adanya aturan hukum nasional yang sesuai, maka pelaksanaan perjanjian bisa berlangsung dengan efektif, dan pihak-pihak terkait bisa menuntut atau mempertahankan haknya berdasarkan perjanjian tersebut.
Dalam pelaksanaannya, masing-masing negara biasanya menunjuk lembaga tertentu atau membentuk unit pelaksana yang bertugas mengawal implementasi perjanjian internasional. Di Indonesia, instansi seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, atau lembaga sektoral terkait akan menjadi pelaksana utama tergantung pada isi perjanjiannya.
Contohnya, jika suatu perjanjian berkaitan dengan lingkungan hidup, maka pelaksanaannya berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jika terkait kerja sama hukum, maka pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM serta aparat penegak hukum lainnya.
Pelaksanaan perjanjian internasional juga memerlukan pengawasan atau pemantauan berkala, baik secara internal oleh negara masing-masing maupun oleh badan internasional yang dibentuk melalui perjanjian. Tujuan pemantauan ini adalah untuk memastikan bahwa setiap negara peserta benar-benar memenuhi kewajibannya dan tidak melakukan pelanggaran yang merugikan pihak lain.
Beberapa perjanjian internasional juga memiliki mekanisme pelaporan periodik, di mana negara harus menyampaikan laporan kepada badan pengawas atau sekretariat perjanjian mengenai sejauh mana pelaksanaan perjanjian telah dilakukan. Bila pelanggaran ditemukan, maka bisa dikenakan sanksi, tekanan diplomatik, hingga tindakan hukum internasional lainnya.
Dalam praktiknya, pelaksanaan perjanjian internasional sering menghadapi berbagai hambatan, antara lain:
-
Perbedaan sistem hukum nasional yang tidak kompatibel
-
Lemahnya kehendak politik di tingkat nasional
-
Keterbatasan anggaran dan sumber daya
-
Kurangnya pemahaman atau pelatihan di kalangan aparatur pelaksana
-
Ketidaksesuaian antara perjanjian dengan nilai atau kepentingan nasional
Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk mengatasi hambatan tersebut secara aktif, karena keterlambatan atau kelalaian dalam pelaksanaan dapat dianggap sebagai wanprestasi internasional (international breach of obligation).
Jika suatu negara tidak melaksanakan isi perjanjian internasional sebagaimana mestinya, maka negara tersebut dapat dianggap melanggar hukum internasional dan berpotensi dikenai sanksi. Konsekuensi yang dapat timbul antara lain:
-
Tuntutan internasional dari negara lain
-
Gugatan di forum internasional seperti Mahkamah Internasional
-
Tindakan pembalasan (retaliasi) atau sanksi diplomatik
-
Penurunan reputasi dan kepercayaan internasional
-
Kehilangan manfaat dari perjanjian tersebut
Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian bukan hanya soal memenuhi kewajiban, tetapi juga soal mempertahankan posisi negara dalam sistem hukum internasional yang kredibel dan dapat dipercaya.
Pelaksanaan perjanjian internasional merupakan kewajiban hukum yang melekat pada negara setelah perjanjian berlaku. Tahapan pelaksanaan melibatkan penerjemahan isi perjanjian ke dalam hukum nasional, penyesuaian institusional, serta pengawasan terhadap penerapannya. Kegagalan dalam pelaksanaan tidak hanya berdampak pada hubungan internasional, tetapi juga berpotensi menimbulkan tanggung jawab hukum internasional. Dengan demikian, setiap perjanjian internasional harus dipandang sebagai komitmen hukum tertinggi yang wajib dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik oleh negara yang menjadi pihak di dalamnya.
9. Perubahan, Penangguhan, dan Pengakhiran Perjanjian Internasional
Dalam hukum perjanjian internasional, aspek perubahan, penangguhan, dan pengakhiran perjanjian merupakan bagian dari dinamika hubungan antarnegara yang dapat terjadi karena alasan hukum, politik, maupun situasi tertentu. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur secara umum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, dan memberikan dasar hukum yang sistematis bagi negara-negara pihak untuk mengatur ulang atau menghentikan komitmen internasionalnya secara sah.
Perubahan atau amandemen perjanjian internasional adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian untuk mengubah sebagian atau seluruh isi dari ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Perubahan ini bisa bersifat substantif, yaitu mengubah isi pokok perjanjian, atau bersifat teknis, seperti koreksi redaksional atau terminologi.
Perubahan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan bersama antar para pihak, dan harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam isi perjanjian itu sendiri atau sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Perubahan biasanya dilakukan melalui:
-
Perundingan ulang antar negara pihak (renegosiasi)
-
Protokol tambahan atau protokol perubahan (protocols)
-
Penyusunan amandemen resmi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjanjian
Suatu perubahan hanya mengikat negara-negara yang menyatakan persetujuan terhadap perubahan tersebut, kecuali semua pihak dalam perjanjian menyepakati bahwa perubahan berlaku universal.
Dalam praktiknya, perubahan perjanjian sering digunakan ketika terdapat perkembangan situasi internasional, penemuan baru, atau kebutuhan untuk menyesuaikan perjanjian dengan kondisi baru yang tidak terduga sebelumnya.
Penangguhan perjanjian internasional adalah penghentian sementara dari pelaksanaan kewajiban perjanjian, baik sebagian maupun seluruhnya. Penangguhan ini tidak menghapus perjanjian, tetapi hanya menunda pelaksanaannya dalam jangka waktu tertentu atau hingga suatu kondisi tertentu dipenuhi.
Penangguhan perjanjian dapat dilakukan melalui:
-
Kesepakatan bersama para pihak dalam perjanjian
-
Sanksi atau pembalasan hukum atas pelanggaran perjanjian oleh salah satu pihak
-
Terjadinya keadaan luar biasa seperti perang, konflik bersenjata, atau keadaan darurat nasional
Konvensi Wina memperbolehkan penangguhan dengan syarat bahwa:
-
Penangguhan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan utama perjanjian
-
Negara yang menangguhkan memberikan pemberitahuan resmi kepada pihak lain
-
Alasan penangguhan bersifat sah menurut hukum internasional
Penangguhan dapat bersifat bilateral (antara dua negara) atau multilateral (oleh sebagian pihak dalam perjanjian). Namun, pada perjanjian multilateral, penangguhan oleh satu pihak tidak serta-merta menggugurkan kewajiban pihak lainnya kecuali ditentukan secara eksplisit.
Pengakhiran perjanjian internasional merupakan proses hukum untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian secara keseluruhan. Pengakhiran bisa terjadi secara otomatis karena waktu berlakunya telah habis, atau secara eksplisit melalui tindakan negara peserta.
Pengakhiran dapat terjadi dalam beberapa bentuk:
-
Pengakhiran berdasarkan ketentuan dalam perjanjian
Banyak perjanjian mencantumkan klausul masa berlaku atau mekanisme pengakhiran. Misalnya, perjanjian yang berlaku selama 10 tahun dan diperpanjang secara otomatis kecuali diberitahu sebaliknya. -
Pengakhiran atas kesepakatan para pihak
Negara-negara peserta dapat mengakhiri perjanjian melalui kesepakatan bersama jika dianggap sudah tidak relevan atau tujuannya telah tercapai. -
Pengakhiran secara unilateral
Dalam beberapa kasus tertentu, negara dapat mengakhiri perjanjian secara sepihak. Namun hal ini hanya sah jika terdapat dasar hukum yang kuat, seperti pelanggaran berat oleh pihak lain (material breach), perubahan mendasar pada keadaan (rebus sic stantibus), atau ketentuan ekspres yang mengizinkan pengakhiran sepihak. -
Pengakhiran karena perjanjian baru
Jika negara-negara pihak menyepakati perjanjian baru yang bertentangan atau menggantikan perjanjian lama, maka perjanjian yang lama dianggap berakhir sepanjang terdapat klausul eksplisit atau kesepakatan tegas mengenai penggantian tersebut. -
Pengakhiran karena perang atau perubahan status negara
Dalam situasi ekstrem seperti terjadinya perang antara pihak-pihak dalam perjanjian, atau bubarnya salah satu negara pihak, perjanjian dapat diakhiri karena hilangnya subjek hukum yang relevan.
Dalam hal pengakhiran atau penangguhan yang tidak disepakati bersama, negara yang bermaksud mengakhiri atau menangguhkan perjanjian wajib:
-
Memberikan pemberitahuan resmi kepada semua pihak
-
Menyertakan alasan hukum yang mendasarinya
-
Menunggu masa tenggang tertentu untuk membuka ruang keberatan dari pihak lain
Apabila terdapat keberatan dari pihak lain atau terjadi sengketa atas tindakan tersebut, maka masalah ini dapat diajukan ke penyelesaian sengketa internasional, termasuk Mahkamah Internasional.
Perubahan, penangguhan, dan pengakhiran perjanjian dapat menimbulkan konsekuensi hukum, antara lain:
-
Hilangnya kewajiban dan hak dalam perjanjian
-
Potensi tuntutan internasional jika pengakhiran atau penangguhan dilakukan secara sepihak tanpa dasar hukum
-
Dampak terhadap hubungan diplomatik dan kepercayaan internasional
Oleh karena itu, tindakan untuk mengubah, menangguhkan, atau mengakhiri perjanjian harus dilakukan secara hati-hati, sah menurut hukum internasional, serta sesuai dengan prinsip itikad baik.
Dalam praktik hukum internasional, perubahan, penangguhan, dan pengakhiran perjanjian internasional harus dipahami sebagai bagian dari dinamika hukum yang sah dan terstruktur. Ketiganya merupakan mekanisme yang disediakan oleh hukum internasional untuk menjaga kelangsungan hubungan antarnegara secara adil, rasional, dan berdasarkan kepentingan bersama. Oleh karena itu, setiap tindakan yang berkaitan dengan perubahan status perjanjian harus dipertimbangkan secara mendalam, dengan memperhatikan prosedur hukum, asas-asas perjanjian, serta kepentingan negara yang lebih luas.
10. Sengketa dalam Perjanjian Internasional
Sengketa dalam perjanjian internasional adalah perselisihan atau ketidaksepakatan antar subjek hukum internasional, khususnya negara, mengenai penafsiran, pelaksanaan, pelanggaran, atau keberlakuan suatu perjanjian internasional. Sengketa ini bersifat hukum, karena menyangkut klaim terhadap hak dan kewajiban berdasarkan norma-norma internasional yang diatur dalam suatu perjanjian. Sengketa dalam konteks ini tidak boleh diartikan sebagai konflik bersenjata, tetapi sebagai perbedaan posisi yang timbul dari penerapan atau makna suatu ketentuan hukum internasional.
Sengketa sering kali muncul karena ketidaksepahaman atas beberapa hal pokok, antara lain:
-
Penafsiran terhadap ketentuan perjanjian yang dianggap ambigu atau multitafsir
-
Perbedaan pendapat tentang pelaksanaan kewajiban dalam perjanjian
-
Dugaan pelanggaran terhadap isi atau semangat dari perjanjian
-
Klaim terhadap akibat hukum dari suatu perubahan keadaan atau tindakan sepihak salah satu pihak
-
Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak setelah berjalannya waktu
Dalam hukum internasional, penyelesaian sengketa merupakan hal yang fundamental karena menjaga stabilitas hubungan antarnegara dan menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, setiap perjanjian internasional idealnya mencantumkan mekanisme penyelesaian sengketa jika sewaktu-waktu muncul ketidaksepakatan.
-
Sengketa Penafsiran
Terjadi ketika dua atau lebih pihak memiliki pandangan berbeda mengenai arti atau maksud suatu pasal dalam perjanjian. Misalnya, bagaimana istilah tertentu harus dipahami menurut konteks hukum internasional atau kepentingan nasional masing-masing. -
Sengketa Pelaksanaan
Muncul ketika salah satu pihak menuduh pihak lain tidak menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam perjanjian. Misalnya, keterlambatan implementasi, pelanggaran prosedur, atau pengingkaran kewajiban substantif. -
Sengketa Validitas atau Keabsahan
Terjadi jika suatu pihak menyatakan bahwa perjanjian tidak berlaku terhadap dirinya, misalnya karena terjadi pemaksaan, penipuan, atau pelanggaran hukum nasional saat ratifikasi. -
Sengketa Mengenai Akibat Hukum
Muncul ketika salah satu pihak ingin mengakhiri, menangguhkan, atau mengubah perjanjian, tetapi ditolak oleh pihak lain, sehingga muncul konflik tentang akibat hukum dari suatu tindakan sepihak.
Dalam hukum perjanjian internasional, penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan prinsip damai dan sesuai ketentuan Pasal 33 Piagam PBB, yang menyebutkan bahwa para pihak dalam sengketa internasional wajib terlebih dahulu menyelesaikannya dengan cara damai. Berikut ini beberapa bentuk penyelesaian:
-
Negosiasi (Negotiation)
Merupakan bentuk paling sederhana dan langsung. Para pihak secara bilateral melakukan perundingan untuk mencari solusi. Negosiasi biasanya bersifat informal dan fleksibel. -
Mediasi (Mediation)
Melibatkan pihak ketiga netral (negara lain atau organisasi internasional) yang membantu memfasilitasi dialog dan mengusulkan solusi, tetapi tanpa wewenang memutuskan. -
Konsiliasi (Conciliation)
Prosedur serupa mediasi, namun lebih formal. Komisi konsiliasi akan menyelidiki fakta dan memberikan rekomendasi kepada para pihak, namun hasilnya tetap tidak mengikat secara hukum. -
Arbitrase (Arbitration)
Merupakan penyelesaian dengan menyerahkan sengketa kepada tribunal atau majelis arbitrase yang dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak. Putusan arbitrase bersifat mengikat secara hukum. -
Adjudikasi oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice / ICJ)
Dalam sengketa antara negara, penyelesaian dapat diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag. ICJ akan memberikan keputusan final dan mengikat, meskipun pelaksanaannya tetap bergantung pada kemauan politik masing-masing negara. -
Penyelesaian melalui Lembaga Internasional
Dalam beberapa perjanjian multilateral, sengketa dapat diselesaikan melalui forum atau mekanisme yang telah ditentukan, misalnya melalui WTO Dispute Settlement Body dalam sengketa dagang.
-
Pacta sunt servanda: Perjanjian harus dihormati dan dilaksanakan dengan itikad baik oleh semua pihak
-
Good faith: Penyelesaian harus dilakukan secara tulus dan tidak menyalahgunakan mekanisme hukum
-
Equality of states: Semua pihak dalam perjanjian memiliki kedudukan hukum yang setara
-
Peaceful settlement of disputes: Negara tidak boleh menggunakan ancaman atau kekerasan dalam penyelesaian sengketa
Jika sengketa tidak segera diselesaikan, maka dapat terjadi:
-
Pelanggaran hukum internasional oleh salah satu pihak
-
Gagalnya pelaksanaan atau pengakhiran sepihak perjanjian
-
Ketegangan diplomatik antarnegara
-
Tuntutan ganti rugi atau pemulihan oleh pihak yang dirugikan
-
Potensi sanksi internasional oleh organisasi atau komunitas internasional
Dalam konteks advokasi atau penanganan perkara yang menyangkut unsur internasional, penting untuk menilai apakah klien berada dalam posisi yang sah menurut hukum internasional, apakah perjanjian mencantumkan klausul penyelesaian sengketa, dan apakah forum yang tersedia memberikan peluang untuk menyelesaikan perbedaan secara efektif dan mengikat.
Sengketa dalam perjanjian internasional merupakan konsekuensi logis dari kompleksitas hubungan antarnegara dan perbedaan kepentingan yang muncul dalam implementasi perjanjian. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa harus dilakukan dengan pendekatan hukum yang sah, damai, dan adil. Sebagai bagian dari sistem hukum internasional, advokat atau konsultan hukum harus memahami secara cermat isi perjanjian, prinsip penyelesaian sengketa, dan implikasi hukum dari setiap tindakan pihak yang terlibat, demi memastikan perlindungan hukum yang optimal bagi kliennya di ranah internasional.
Andi Akbar Muzfa, SH
Kantor Hukum Andi Akbar Muzfa, SH & Partners
- Apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional?
- Apa syarat sah sebuah perjanjian internasional?
- Bagaimana proses pembentukan perjanjian internasional antarnegara?
- Apakah semua negara wajib terikat pada perjanjian internasional?
- Apa bedanya perjanjian bilateral, multilateral, dan regional?
- Apa perbedaan antara treaty, convention, protocol, charter, dan agreement?
- Apakah perjanjian internasional bisa dibatalkan secara sepihak?
- Bagaimana mekanisme suatu negara keluar dari perjanjian internasional?
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|