View All KONSULTASI HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 30 April 2025, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan (UPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara serta Memperbaharui seluruh artikel lama dengan aturan Perundang-undangan terbaru.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Hukum Pidana , KUHP Baru , Tindak Pidana Pencabulan » Perbedaan Pasal Pencabulan KUHP Baru dan KUHP Lama

Perbedaan Pasal Pencabulan KUHP Baru dan KUHP Lama

Berikut adalah penjelasan lengkap dan terperinci mengenai persamaan dan perbedaan Pasal Pencabulan dalam KUHP Baru dan KUHP Lama, disusun secara sistematis agar dapat menjadi bahan pertimbangan hukum dan referensi pendampingan perkara secara komprehensif.

1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci tentang Tindak Pidana Pencabulan

Tindak pidana pencabulan merupakan perbuatan asusila yang menyerang kesusilaan dan martabat seseorang, khususnya terkait integritas seksual, tanpa adanya persetujuan dari korban atau dalam kondisi di mana persetujuan tidak dianggap sah secara hukum (misalnya karena usia korban atau kondisi korban yang tidak sadar). Pencabulan dalam hukum pidana Indonesia mencakup tindakan selain persetubuhan (penetrasi) yang bersifat seksual dan dilakukan secara paksa, manipulatif, atau terhadap korban yang dilindungi secara khusus (anak, orang dengan disabilitas mental, orang yang tidak sadar atau tidak berdaya).

Unsur-unsur pencabulan mencakup:

  • Dilakukan terhadap tubuh seseorang dengan maksud seksual.

  • Tidak sampai pada tindakan persetubuhan (karena jika sudah sampai, masuk kategori pemerkosaan).

  • Tanpa persetujuan, atau walaupun dengan persetujuan tetapi korban tidak sah secara hukum memberikan persetujuan (misalnya anak).

  • Dapat dilakukan dengan kekerasan, ancaman, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan, atau terhadap korban dalam kondisi lemah.

  • Dapat terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak.

Pencabulan memiliki ragam bentuk, seperti menyentuh alat kelamin, meraba tubuh dengan niat seksual, memperlihatkan alat kelamin kepada korban, atau membuat korban menyaksikan adegan seksual.

2. Dasar Hukum atau Isi Pasal yang Mengatur: Persamaan dan Perbedaan KUHP Baru dan KUHP Lama

KUHP Lama

Pasal 289 KUHP Lama:

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan kepadanya perbuatan cabul, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Pasal 290 KUHP Lama:

Mengatur pencabulan terhadap korban yang tidak berdaya, belum dewasa, atau dalam keadaan tidak sadar.

Pasal 291 dan 292 KUHP Lama:

Mengatur pencabulan terhadap anak di bawah umur oleh orang dewasa atau sesama jenis.

Karakteristik KUHP Lama:

  • Tidak ada definisi eksplisit mengenai "perbuatan cabul", sehingga interpretasinya diserahkan kepada hakim.

  • Terbatas pada konteks kekerasan, paksaan, atau keadaan tidak berdaya.

  • Lebih fokus pada perlindungan terhadap anak dan perempuan.

  • Tidak secara rinci membedakan antara jenis kelamin pelaku maupun korban.

  • Belum mengatur secara lengkap tentang pencabulan dalam konteks kekerasan seksual berbasis gender, disabilitas, atau relasi kuasa.

KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023)

KUHP Baru memperjelas, memperluas, dan memodernisasi pengaturan tentang tindak pidana pencabulan dan kekerasan seksual secara umum.

Pasal 413 KUHP Baru:

Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau memaksa orang lain melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Pasal 414 KUHP Baru:

Mengatur pencabulan terhadap anak: “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”

Pasal 415 KUHP Baru:

Mengatur tentang pencabulan dalam relasi kuasa, pencabulan dalam hubungan kerja, pendidikan, keluarga, dan pencabulan berbasis ketimpangan.

Pasal 416 KUHP Baru:

Mengatur pencabulan yang menyebabkan korban mengalami luka berat, gangguan mental, atau kematian, dengan ancaman yang lebih berat.

Karakteristik KUHP Baru:

  • Ada definisi yang lebih rinci tentang perbuatan cabul, termasuk dengan sentuhan, rayuan seksual, paksaan psikologis, serta pencabulan non-fisik seperti menunjukkan alat kelamin.

  • Memberikan perlindungan lebih luas, termasuk terhadap laki-laki, anak laki-laki, dan kelompok rentan lainnya.

  • Menyasar pencabulan dalam relasi kuasa seperti guru terhadap murid, atasan terhadap bawahan, atau orang tua terhadap anak.

  • Ancaman pidana lebih tinggi dari KUHP Lama, terutama untuk korban anak dan korban dengan disabilitas.

Persamaan:

  • Sama-sama mengatur tindakan yang tidak sampai pada persetubuhan tetapi bersifat seksual dan melibatkan paksaan atau kondisi korban yang lemah.

  • Ancaman hukuman dasar (tanpa pemberatan) sama-sama maksimal 9 tahun.

Perbedaan:

  • KUHP Lama belum mendefinisikan secara jelas “perbuatan cabul”, KUHP Baru mendefinisikannya lebih lengkap dan kontekstual.

  • KUHP Baru lebih eksplisit tentang bentuk kekerasan seksual non-fisik dan relasi kuasa.

  • KUHP Baru memberikan perlindungan yang lebih inklusif terhadap korban laki-laki dan kelompok rentan.

  • KUHP Baru membagi kategori pencabulan berdasarkan situasi korban (anak, disabilitas, relasi kuasa) dan memberi diferensiasi hukuman.

3. Contoh Kasus dan Perbandingan Penanganan Menurut KUHP Baru dan KUHP Lama

Contoh Kasus 1:
Seorang guru laki-laki mencabuli siswi SMP dengan cara meraba dada dan memegang paha di ruang kelas.

KUHP Lama:

  • Bisa dikenakan Pasal 289 atau 290 jika terbukti adanya kekerasan atau ancaman, atau jika korban dianggap belum dewasa.

  • Namun sulit jika tidak ada bukti kekerasan fisik atau ancaman nyata.

  • Tidak ada pengaturan tentang relasi kuasa (guru-siswi) secara khusus.

KUHP Baru:

  • Langsung bisa dikenakan Pasal 415 karena ada relasi kuasa antara guru dan murid.

  • Pencabulan tidak harus disertai kekerasan fisik karena bisa berupa paksaan psikologis.

  • Ancaman pidana lebih berat karena menyalahgunakan kedudukan.

Contoh Kasus 2:
Seorang pria dewasa menyentuh alat kelamin anak laki-laki 10 tahun tetangganya ketika bermain di rumah.

KUHP Lama:

  • Bisa dikenakan Pasal 292 karena pencabulan terhadap anak di bawah umur oleh orang dewasa.

  • Namun belum mengakomodasi perlindungan penuh untuk anak laki-laki sebagai korban karena fokusnya lebih banyak pada korban perempuan.

KUHP Baru:

  • Bisa dikenakan Pasal 414 karena perbuatan cabul terhadap anak dengan ancaman maksimal 12 tahun.

  • Tidak membedakan jenis kelamin korban.

  • Memberi perlindungan maksimal kepada korban anak.

Contoh Kasus 3:
Seorang pria memperlihatkan alat kelaminnya di depan seorang perempuan dewasa di jalan umum.

KUHP Lama:

  • Tidak ada pasal yang secara eksplisit mengatur tindakan eksibisionisme sebagai pencabulan.

  • Sulit diproses kecuali jika korban mengalami paksaan atau ancaman.

KUHP Baru:

  • Diatur dalam konsep perluasan perbuatan cabul, termasuk tindakan non-fisik (ekshibisionisme).

  • Bisa dikenakan Pasal 413 jika perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud seksual dan membuat korban tertekan.

4. Kesimpulan dan Hambatan dalam Proses Peradilan serta Pendampingan Hukum

Kesimpulan:
KUHP Baru memberikan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap tindak pidana pencabulan dengan memperluas definisi perbuatan cabul, memperkuat perlindungan korban anak dan kelompok rentan, serta memperkenalkan kategori pencabulan berdasarkan relasi kuasa dan kondisi korban. KUHP Baru mengisi banyak kekosongan hukum yang terdapat dalam KUHP Lama dan berusaha lebih kontekstual dengan kondisi sosial saat ini.

Hambatan dalam Proses Peradilan dan Pendampingan Hukum:

  1. Pembuktian yang Sulit: Pencabulan sering terjadi tanpa saksi atau bukti fisik. Banyak kasus hanya bergantung pada keterangan korban yang bisa diragukan bila tidak ada dukungan lain.

  2. Stigma Sosial: Korban sering enggan melapor karena takut malu atau disalahkan. Hal ini mempersulit proses hukum dan menghambat advokat dalam membangun kasus.

  3. Keterbatasan Pemahaman Penegak Hukum: Beberapa aparat penegak hukum masih berpikir konvensional, sehingga kurang memahami bentuk kekerasan seksual non-fisik atau berbasis relasi kuasa.

  4. Relasi Kuasa yang Kompleks: Dalam kasus guru-siswa, orang tua-anak, atau atasan-bawahan, sering kali korban merasa tidak berdaya untuk melapor karena takut balasan atau tekanan psikologis.

  5. Pendampingan Psikologis yang Minim: Banyak korban tidak didampingi psikolog profesional, sehingga kesaksian mereka bisa dianggap tidak stabil di pengadilan.

  6. Keterbatasan Bukti Digital: Banyak kasus pencabulan terjadi melalui media daring (chat cabul, video call), dan belum semua penyidik atau pengacara mahir menyiapkan alat bukti elektronik secara hukum.

Bagi seorang advokat, memahami KUHP Baru secara mendalam menjadi keharusan agar bisa mendampingi klien secara efektif, baik sebagai korban maupun terlapor. Advokat juga perlu memiliki kemampuan interdisipliner: menguasai psikologi forensik, hukum digital, serta mediasi perlindungan terhadap korban dengan pendekatan sensitif terhadap trauma.

Artikel Terkait :

Artikel ini telah ditinjau oleh :
Advokat & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR Law Office)

KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan dengan pengawasan Advokat/Pengacara & Konsultan Hukum Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Partners)... Save Link - Andi AM