View All KONSULTASI HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 30 April 2025, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan (UPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara serta Memperbaharui seluruh artikel lama dengan aturan Perundang-undangan terbaru.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Hukum Pidana , Tindak Pidana Penipuan » Perbedaan Pasal Penipuan KUHP Baru dan KUHP Lama

Perbedaan Pasal Penipuan KUHP Baru dan KUHP Lama

Berikut adalah pembahasan lengkap dan terperinci tentang persamaan dan perbedaan Pasal Penipuan dalam KUHP Baru dan KUHP Lama, yang akan dijelaskan secara sistematis dan terperinci. Penjelasan ini dirancang untuk memberikan pemahaman mendalam dari sudut pandang hukum materiil dan proses peradilan, terutama untuk dijadikan pertimbangan dan referensi hukum dan penanganan perkara oleh Advokat.

1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci tentang Tindak Pidana Penipuan

Tindak pidana penipuan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan memperoleh keuntungan secara melawan hukum dengan cara memperdaya atau menipu orang lain. Dalam praktiknya, penipuan sering kali dilakukan dengan memanfaatkan kebohongan, tipu muslihat, atau rangkaian kata bohong untuk meyakinkan korban agar menyerahkan barang, uang, atau hak miliknya kepada pelaku.

Unsur-unsur penting dari tindak pidana penipuan adalah:

  • Adanya perbuatan tipu daya, yang dapat berupa:

    • Rangkaian kebohongan.

    • Perbuatan memperdaya.

    • Memakai nama palsu, kedudukan palsu, kuasa palsu.

  • Menimbulkan kepercayaan palsu pada korban.

  • Akibat dari perbuatan tersebut adalah penyerahan barang atau hak milik oleh korban kepada pelaku.

  • Adanya niat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Tindak pidana penipuan termasuk dalam delik materiil, karena baru dianggap selesai jika telah timbul akibat berupa kerugian pada korban. Penipuan juga tergolong dalam tindak pidana terhadap harta kekayaan, namun berbeda dari pencurian karena korban secara sukarela menyerahkan harta, namun penyerahan tersebut dilakukan karena adanya unsur penipuan.

2. Dasar Hukum atau Isi Pasal dalam KUHP Lama dan KUHP Baru Beserta Penjelasannya

KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht, WvS):

  • Pasal 378 KUHP Lama:

    "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang supaya menyerahkan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun."

Penjelasan Pasal 378 KUHP Lama:

  • Pasal ini merupakan dasar utama tindak pidana penipuan.

  • Frasa penting: “menggerakkan orang supaya menyerahkan sesuatu barang” menunjukkan bahwa kerugian timbul karena korban tertipu dan melakukan penyerahan secara sukarela.

  • Ancaman pidana maksimal adalah 4 tahun penjara.

KUHP Baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023):

  • Pasal 517 KUHP Baru:

    "Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau kepada orang lain, dengan menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu daya, atau rangkaian kebohongan, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V."

Penjelasan Pasal 517 KUHP Baru:

  • Substansi sama dengan Pasal 378 KUHP Lama, namun bahasanya disederhanakan dan lebih sistematis.

  • Unsur tetap sama: niat, perbuatan tipu daya, penyerahan barang oleh korban, dan adanya kerugian.

  • Denda maksimum kategori V, yaitu Rp500.000.000.

KUHP Baru juga memperkenalkan pasal tambahan terkait penipuan dalam bentuk khusus, seperti:

  • Pasal 518 KUHP Baru: Penipuan terhadap beberapa orang secara berulang (penipuan serial), bisa dikenakan pidana penjara hingga 6 tahun.

  • Pasal 519 KUHP Baru: Penipuan terhadap penyandang disabilitas atau orang lanjut usia, dianggap sebagai pemberatan.

  • Pasal 520 KUHP Baru: Penipuan dengan menggunakan sistem elektronik atau digital (mirip dengan UU ITE Pasal 28 ayat (1)), disebut sebagai penipuan digital.

Persamaan:

  • Unsur pokok delik tetap sama.

  • Penyerahan barang harus sebagai akibat dari tipu muslihat atau kebohongan.

  • Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Perbedaan:

  • KUHP Baru menyesuaikan bahasa dan menambahkan pengaturan lebih rinci atas variasi penipuan.

  • KUHP Baru memberikan ruang sanksi pidana denda hingga Rp500 juta (kategori V).

  • KUHP Baru secara eksplisit mengatur penipuan berbasis elektronik dan terhadap kelompok rentan.

  • Pendekatan KUHP Baru lebih kompatibel dengan perkembangan teknologi dan variasi modus.

3. Contoh Kasus dan Perbandingan Penanganannya dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Contoh Kasus 1: Penipuan Konvensional
Seseorang mengaku sebagai pegawai bank dan menawarkan jasa pinjaman cepat kepada warga, meminta biaya administrasi Rp5 juta, namun setelah dana ditransfer, orang tersebut menghilang.

  • KUHP Lama:

    • Dikenakan Pasal 378.

    • Unsur tipu muslihat dan kerugian telah terpenuhi.

    • Penuntutan langsung karena delik biasa.

    • Ancaman pidana maksimal 4 tahun.

  • KUHP Baru:

    • Dikenakan Pasal 517.

    • Selain pidana penjara, pelaku bisa dijatuhi denda hingga kategori V.

    • Jika dilakukan berulang kepada banyak korban, bisa dikenakan Pasal 518 (ancaman 6 tahun).

Contoh Kasus 2: Penipuan Digital
Pelaku membuat akun Instagram palsu yang menawarkan jasa sewa villa murah. Korban mentransfer uang sewa Rp3 juta, namun ternyata villa tidak pernah ada.

  • KUHP Lama:

    • Masih memakai Pasal 378, tapi sulit mengakomodasi modus digital.

    • Perlu digabungkan dengan UU ITE (Pasal 28 ayat (1)).

  • KUHP Baru:

    • Langsung dikenakan Pasal 520 KUHP Baru tentang penipuan digital.

    • Tersangka dijerat dengan ketentuan pidana penipuan digital dengan pidana maksimal 6 tahun.

    • Tidak perlu merujuk UU ITE secara terpisah karena sudah diakomodasi dalam KUHP.

Contoh Kasus 3: Penipuan terhadap Orang Rentan
Pelaku menipu lansia dengan dalih anaknya ditahan polisi dan butuh uang jaminan. Korban menyerahkan uang Rp10 juta.

  • KUHP Lama:

    • Dikenakan Pasal 378 saja tanpa pemberatan.

    • Tidak mempertimbangkan kondisi korban (lansia).

  • KUHP Baru:

    • Bisa dikenakan Pasal 519 (penipuan terhadap orang lemah atau rentan).

    • Ancaman pidana dapat diperberat karena kondisi korban diperhitungkan dalam pasal pemberatan.

4. Kesimpulan dan Permasalahan dalam Proses Peradilan dan Pendampingan Hukum

Kesimpulan:

  • Tindak pidana penipuan tetap merupakan delik penting dalam hukum pidana karena banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat dan sering bersinggungan dengan transaksi keuangan.

  • KUHP Baru mempertahankan struktur dasar pasal penipuan dari KUHP Lama, namun dengan pembaruan bahasa dan tambahan pengaturan terhadap penipuan modern.

  • Dengan adanya pasal-pasal tambahan tentang penipuan digital, berantai, dan terhadap kelompok rentan, KUHP Baru menawarkan perlindungan hukum yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.

  • KUHP Baru menggabungkan pendekatan konvensional dan kontemporer dalam menghadapi variasi modus penipuan.

Hambatan dalam proses peradilan dan pendampingan hukum:

  1. Pembuktian unsur tipu daya secara objektif: Seringkali sulit membuktikan niat jahat pelaku sejak awal, terutama dalam kasus-kasus yang bercampur dengan hubungan keperdataan (utang-piutang).

  2. Sulitnya pelacakan pelaku penipuan digital: Banyak pelaku menggunakan akun palsu, rekening pinjaman, atau alat komunikasi anonim.

  3. Kurangnya literasi hukum masyarakat: Banyak korban menunda laporan karena merasa malu atau tidak yakin bahwa itu masuk kategori penipuan.

  4. Tumpang tindih aturan dengan UU lain (misalnya UU ITE): Jika tidak dipahami secara sistematis, aparat bisa bingung memilih dasar hukum yang tepat antara KUHP Baru atau UU sektoral.

  5. Penanganan korban lansia atau disabilitas: Dalam praktik, belum semua aparat memiliki perspektif perlindungan korban rentan, padahal KUHP Baru sudah mengakomodasi hal ini.

  6. Advokat sering terjebak membela pelaku yang sebenarnya bermotif perdata: Dalam beberapa kasus, pengacara perlu menyaring secara cermat apakah klien melakukan penipuan atau hanya wanprestasi agar tidak salah langkah dalam strategi pembelaan.

  7. Penerapan restorative justice belum menyentuh penipuan secara optimal: Meski idealnya bisa diselesaikan di luar pengadilan, proses penipuan sering dianggap terlalu berat untuk pendekatan damai.

Artikel ini telah ditinjau oleh :
Advokat & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR Law Office)

KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan dengan pengawasan Advokat/Pengacara & Konsultan Hukum Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Partners)... Save Link - Andi AM