View All KONSULTASI HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 30 April 2025, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan (UPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara serta Memperbaharui seluruh artikel lama dengan aturan Perundang-undangan terbaru.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Konsultasi Hukum , Penipuan Online , Tindak Pidana Penipuan » Apa hukuman bagi pelaku penipuan online menurut hukum di Indonesia?

Apa hukuman bagi pelaku penipuan online menurut hukum di Indonesia?

Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai hukuman bagi pelaku penipuan online menurut hukum di Indonesia, yang mencakup aspek tindak pidana, dasar hukum, contoh kasus, proses peradilan, perlindungan hukum dari advokat, serta kesimpulan dan hambatan dalam penanganannya:

1. Tindak Pidana Penipuan Online di Indonesia

Penipuan online merupakan bentuk tindak pidana yang dilakukan melalui media elektronik, di mana pelaku memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum, biasanya dengan cara menipu korban agar menyerahkan sejumlah uang, data pribadi, atau informasi sensitif lainnya.

Tindak pidana ini berkembang pesat seiring majunya dunia digital, dan mencakup berbagai modus seperti:

  • Jual beli fiktif di media sosial atau e-commerce

  • Phishing atau pengelabuan data perbankan korban

  • Penipuan pinjaman online ilegal

  • Investasi bodong melalui website palsu atau media sosial

  • Manipulasi melalui aplikasi pesan (WhatsApp, Telegram, dll)

Unsur utama dari penipuan online antara lain:

  • Adanya tipu muslihat atau rangkaian kebohongan

  • Maksud untuk menggerakkan korban agar menyerahkan barang atau uang

  • Tindakan dilakukan secara sadar dan disengaja oleh pelaku

Karena dilakukan melalui media digital, tindak pidana ini bukan hanya didekati dari unsur penipuan umum, tapi juga dari perspektif kejahatan siber (cybercrime) dan tindak pidana khusus berdasarkan Undang-Undang ITE dan perlindungan konsumen.

2. Dasar Hukum dalam KUHP Baru dan Undang-Undang Khusus

A. KUHP Baru – UU No. 1 Tahun 2023

Pasal 517 KUHP Baru

Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang, memberikan hutang, atau menghapuskan piutang, dipidana karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Penjelasan:

  • Frasa "tipu muslihat atau rangkaian kebohongan" mencakup penggunaan media digital.

  • Ancaman pidana maksimal 4 tahun menunjukkan bahwa ini adalah tindak pidana serius, walaupun termasuk kategori kejahatan menengah.

Pasal 518 dan 519 KUHP Baru memberi pemberatan:

  • Bila penipuan dilakukan terhadap lebih dari satu orang, berulang kali, atau dengan menggunakan jabatan dan kedudukan palsu, maka hukumannya dapat diperberat hingga 6 tahun.

  • Bila menimbulkan kerugian besar atau terhadap korban rentan, juga diberi pemberatan.

B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016

Pasal 28 Ayat (1) UU ITE

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Pasal 45A Ayat (1) UU ITE

Setiap orang yang melanggar Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Penjelasan:

  • UU ITE sangat relevan bila penipuan dilakukan secara daring (online), misalnya melalui platform e-commerce, media sosial, atau situs palsu.

  • Frasa "berita bohong dan menyesatkan" dalam konteks penipuan melibatkan pengelabuan konsumen secara digital.

C. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)

Pasal 9 Ayat (1)

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan keterangan, label, iklan, atau promosi.

Sanksi Pidana di Pasal 62

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar.

Penjelasan:

  • Dalam konteks penipuan online yang mengaku sebagai pelaku usaha namun ternyata palsu, pasal ini sangat penting digunakan oleh penegak hukum.

3. Contoh Kasus Penipuan Online

Kasus: Penipuan Jual Beli Smartphone Fiktif

Seorang pelaku membuat akun media sosial yang menampilkan jual beli smartphone dengan harga miring. Ia menggunakan testimoni palsu dan tampilan halaman yang profesional. Korban tertarik, mengirim uang sebesar Rp5 juta, namun barang tak kunjung dikirim. Pelaku memblokir kontak korban setelah menerima transfer.

Penanganan:

  • Polisi menjerat pelaku dengan Pasal 517 KUHP Baru dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE.

  • Barang bukti: tangkapan layar iklan, bukti transfer, riwayat chat, serta identitas rekening pelaku.

  • Pelaku divonis 3 tahun penjara dan denda Rp50 juta.

Analisis:

  • Perbuatan memenuhi unsur penipuan karena ada tipu daya dan penggerakan korban untuk menyerahkan uang.

  • Dilakukan melalui internet, maka unsur UU ITE juga terpenuhi.

  • Meski nilainya hanya Rp5 juta, hukum tetap berjalan karena ada niat jahat dan dampak terhadap masyarakat luas.

4. Proses Peradilan Tindak Pidana Penipuan Online

A. Penyelidikan

  • Dilakukan oleh aparat kepolisian begitu menerima laporan korban.

  • Mengumpulkan informasi awal, identifikasi akun pelaku, dan menganalisis bukti awal (chat, transaksi, rekening bank).

B. Penyidikan

  • Polisi menetapkan pelaku sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti (misalnya: bukti transfer dan pengakuan).

  • Penyidik bisa bekerja sama dengan PPATK untuk melacak aliran dana, atau dengan penyedia platform untuk membuka data akun pelaku.

  • Dilakukan pemanggilan saksi, penyitaan akun bank, dan penahanan.

C. Pelimpahan ke Kejaksaan

  • Setelah berkas lengkap (P-21), perkara dilimpahkan ke kejaksaan.

  • Jaksa menyusun surat dakwaan berdasarkan KUHP dan UU ITE.

D. Persidangan

  • Di Pengadilan Negeri, pelaku diadili terbuka.

  • Korban bisa dihadirkan sebagai saksi.

  • Jika terbukti, hakim memutus pidana penjara, denda, dan kadang disertai perintah restitusi (pengembalian kerugian ke korban).

E. Upaya Hukum (Banding, Kasasi, PK)

  • Bila pelaku atau jaksa tidak puas dengan putusan, dapat ajukan banding ke Pengadilan Tinggi, kasasi ke Mahkamah Agung, atau Peninjauan Kembali jika ada novum (bukti baru).

5. Perlindungan Hukum atau Upaya Hukum dari Kuasa Hukum

Untuk Korban:

  • Advokat dapat melakukan:

    • Pendampingan pelaporan ke kepolisian

    • Penyusunan laporan dengan dasar hukum yang kuat (KUHP, UU ITE, UU Perlindungan Konsumen)

    • Permintaan perlindungan saksi bila ada ancaman

    • Gugatan perdata untuk pemulihan kerugian (restorative justice atau perdata terpisah)

Untuk Tersangka:

  • Advokat bisa melakukan:

    • Pemeriksaan alat bukti untuk menguji apakah sudah sah dan cukup

    • Pledoi atau pembelaan untuk meringankan hukuman (misal: pelaku pertama kali, kerugian kecil, restitusi sudah dilakukan)

    • Meminta diversi atau restorative justice bila nilai kerugian kecil dan tidak ada niat jahat berkepanjangan

    • Pengajuan keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan jika ada cacat formil

Dalam Proses Sidang:

  • Advokat berperan dalam:

    • Mengajukan saksi ahli (misalnya forensik digital)

    • Menghadirkan bukti bahwa pelaku bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab (dalam kasus penipuan jaringan)

    • Melakukan negosiasi restorative justice untuk penyelesaian di luar pengadilan (dengan persetujuan jaksa dan korban)

6. Kesimpulan dan Hambatan dalam Penanganan

Kesimpulan:
Tindak pidana penipuan online merupakan kejahatan serius di era digital yang merugikan banyak orang. Hukum Indonesia telah cukup lengkap menjerat pelaku, baik melalui KUHP Baru, UU ITE, maupun UU Perlindungan Konsumen. Sanksi bisa berupa pidana penjara hingga 6 tahun dan denda miliaran rupiah. Proses peradilan memerlukan kerja sama banyak pihak, termasuk penyidik siber dan ahli digital forensik.

Hambatan dalam proses peradilan:

  • Identifikasi pelaku sulit: Banyak pelaku menggunakan akun palsu dan server luar negeri.

  • Korban tidak melapor: Banyak korban merasa malu atau tidak tahu cara melapor.

  • Kurangnya kemampuan digital forensik di daerah: Polisi daerah kadang kekurangan alat atau SDM.

  • Restorative justice tidak berjalan: Karena pelaku tidak berniat mengembalikan kerugian.

  • Multijurisdiksi: Jika pelaku di luar negeri, penanganan rumit dan butuh mutual legal assistance.

Dengan memahami semua aspek ini, pendampingan hukum terhadap korban maupun tersangka bisa dilakukan secara lebih tepat dan strategis. Jika dibutuhkan, bisa juga disusun gugatan perdata untuk ganti rugi secara paralel dengan proses pidana.

Artikel Terkait Penipuan :

Artikel ini telah ditinjau oleh :
Advokat & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR Law Office)
KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan dengan pengawasan Advokat/Pengacara & Konsultan Hukum Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Partners)... Save Link - Andi AM