View All KONSULTASI HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 30 April 2025, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan (UPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara serta Memperbaharui seluruh artikel lama dengan aturan Perundang-undangan terbaru.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Perbedaan Pasal Penistaan Agama KUHP Baru dan KUHP Lama

Perbedaan Pasal Penistaan Agama KUHP Baru dan KUHP Lama
Perbedaan Pasal Penistaan Agama KUHP Baru dan KUHP Lama

Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai persamaan dan perbedaan tindak pidana Penistaan Agama dalam KUHP Baru dan KUHP Lama, mencakup seluruh aspek mulai dari pengertian, dasar hukum, contoh kasus, hingga hambatan pendampingan hukum. Penjelasan ini dirancang sebagai bahan pertimbangan dan referensi hukum yang detail bagi advokat atau pengacara dalam menangani perkara penodaan agama di Indonesia.

1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci tentang Tindak Pidana Penistaan Agama

Tindak pidana penistaan agama atau dalam istilah hukum sering disebut penodaan agama adalah perbuatan yang dianggap menghina, melecehkan, atau merendahkan suatu agama yang diakui di Indonesia, baik melalui perkataan, tulisan, simbol, maupun tindakan yang dilakukan di muka umum.

Penistaan agama memiliki dimensi ganda: pertama, berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama, dan kedua, menyangkut ketertiban umum. Negara memandang bahwa penodaan terhadap simbol atau ajaran agama dapat memicu ketegangan sosial dan bahkan konflik horizontal, sehingga diberi pengaturan khusus dalam hukum pidana.

Namun demikian, terdapat perdebatan panjang terkait sejauh mana suatu kritik, interpretasi keagamaan yang berbeda, atau ekspresi kebebasan berpendapat dapat dianggap sebagai penodaan agama. Inilah yang menjadikan penistaan agama sebagai salah satu pasal yang rentan multitafsir dan rawan politisasi, apalagi jika menyangkut konteks antariman, sekte dalam agama yang sama, atau bahkan aktivitas akademik dan kesusastraan.

2. Dasar Hukum atau Isi Pasal yang Mengatur serta Penjelasan Lengkap dalam KUHP Baru dan KUHP Lama

KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht - WvS):

Pasal penistaan agama dalam KUHP lama tidak diatur secara eksplisit dalam KUHP induk, melainkan diatur melalui Pasal 156a sebagai hasil dari Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian dinyatakan tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum setara dengan undang-undang.

Bunyi Pasal 156a KUHP Lama:

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Pasal ini sering digunakan untuk menjerat pelaku yang dianggap menghina simbol, ajaran, tokoh, kitab suci, atau upacara keagamaan dari agama yang diakui di Indonesia. Penafsirannya sering kali sangat bergantung pada persepsi publik dan aparat terhadap sensitivitas keagamaan.

KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023):

KUHP Baru tetap mengatur tindak pidana penodaan agama, namun dalam redaksi yang diperluas, dikodifikasi secara sistematis, dan dibedakan secara rinci dalam beberapa pasal, yaitu:

  • Pasal 300 KUHP Baru:
    Setiap orang yang di muka umum melakukan perbuatan permusuhan, kebencian, atau hasutan untuk melakukan kekerasan terhadap agama atau kepercayaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori V.

  • Pasal 301 KUHP Baru:
    Mengatur perbuatan yang menghina agama atau keyakinan orang lain, termasuk menghina upacara keagamaan.

  • Pasal 302 KUHP Baru:
    Mengatur larangan mengganggu ibadah atau perayaan keagamaan secara paksa.

  • Pasal 304 KUHP Baru:
    Mengatur penyebaran ajaran yang bertentangan dengan ajaran pokok agama yang dianut di Indonesia, dengan unsur kesengajaan dan unsur di muka umum.

  • Pasal 305 KUHP Baru:
    Melarang pendirian atau penyebaran aliran kepercayaan dengan maksud menyesatkan atau menodai agama yang dianut di Indonesia.

Perbedaan utama antara KUHP Lama dan KUHP Baru:

  • Kodifikasi: KUHP Baru mengkodifikasi pasal-pasal penodaan agama secara lengkap dalam sistem hukum pidana nasional, sedangkan KUHP Lama hanya mengandalkan Pasal 156a hasil PP No. 1/PNPS/1965.

  • Redaksi yang lebih rinci dan berjenjang dalam KUHP Baru membedakan antara permusuhan, penghinaan, hasutan kekerasan, penggangguan ibadah, dan penyebaran ajaran yang menodai agama.

  • KUHP Baru juga memasukkan unsur perlindungan terhadap kepercayaan lokal dan minoritas, yang tidak cukup terlindungi dalam KUHP Lama.

  • KUHP Baru menambahkan klarifikasi batasan pidana, seperti unsur kesengajaan, niat menyesatkan, atau dilakukan di muka umum, yang membantu meminimalisir tafsir yang terlalu luas.

3. Contoh Kasus Tindak Pidana Penistaan Agama dan Perbandingan Penerapannya dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Kasus dalam Era KUHP Lama:

  • Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tahun 2016:
    Ahok, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, menyebutkan dalam pidatonya di Kepulauan Seribu soal penggunaan Surat Al-Maidah 51 dalam konteks politisasi agama. Pernyataannya menimbulkan kontroversi besar dan gelombang protes. Ia akhirnya didakwa dan dihukum berdasarkan Pasal 156a KUHP karena dianggap telah menodai agama Islam.

Dalam konteks KUHP Lama, tidak terdapat banyak pasal pembanding. Unsur yang menjadi fokus adalah apakah ucapannya di muka umum mengandung unsur permusuhan atau penodaan terhadap agama Islam. Pendekatan yang digunakan lebih ke arah dampak sosial yang ditimbulkan, ketimbang analisis niat atau konteks.

Simulasi Kasus dalam Era KUHP Baru:

Misalnya, seseorang membuat konten video yang menertawakan ritual agama tertentu dan menyebarkannya ke media sosial. Jika terbukti mengandung unsur penghinaan terhadap agama atau dilakukan dengan niat permusuhan, maka orang tersebut dapat dijerat dengan:

  • Pasal 301 KUHP Baru jika kontennya berisi hinaan terhadap agama tertentu.

  • Jika konten itu juga mengandung hasutan untuk membenci atau melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama tertentu, maka dikenakan Pasal 300 KUHP Baru.

Namun, jika seseorang melakukan diskusi akademis atau publikasi yang menelaah sejarah kitab suci atau praktik ritual secara ilmiah, meskipun menimbulkan kontroversi, hal ini tidak serta-merta dianggap sebagai penistaan, apalagi jika tidak dilakukan dengan niat permusuhan atau penyesatan.

KUHP Baru lebih menekankan pada niat jahat (mens rea), unsur kesengajaan, dan konteks publik, serta memisahkan antara kritik internal agama dan penodaan yang disebarkan secara publik untuk merendahkan agama tertentu.

4. Kesimpulan dan Hambatan dalam Proses Peradilan serta Pendampingan oleh Advokat/Pengacara

Kesimpulan:

  • KUHP Lama mengatur penodaan agama secara singkat melalui Pasal 156a hasil PP No. 1/PNPS/1965. Sementara KUHP Baru melakukan kodifikasi yang lebih lengkap, terstruktur, dan membedakan berbagai bentuk perbuatan pidana terhadap agama.

  • Perbedaan penting antara KUHP Baru dan Lama terletak pada cakupan pasal, klasifikasi perbuatan, dan perlindungan terhadap keberagaman keyakinan termasuk kepercayaan lokal.

  • KUHP Baru mencoba untuk menyeimbangkan antara perlindungan agama dengan prinsip kebebasan berekspresi, dengan penekanan pada niat, kesengajaan, dan tindakan terbuka di muka umum.

Hambatan dalam Proses Peradilan dan Pendampingan oleh Advokat:

  • Multitafsir terhadap kata “menodai” atau “menghina” agama masih menjadi tantangan utama. Advokat sering kali harus menjelaskan konteks, niat, dan latar belakang budaya klien untuk membedakan antara kritik, satir, atau ekspresi kebebasan beragama dengan penghinaan murni.

  • Tekanan massa atau opini publik sangat mempengaruhi penanganan kasus penistaan agama. Aparat penegak hukum cenderung bersikap represif jika kasus menjadi sorotan besar, yang dapat mengorbankan prinsip due process of law.

  • Bukti digital dalam kasus penistaan agama seringkali dipenggal atau dikemas ulang di media sosial, sehingga advokat harus bekerja ekstra dalam membuktikan konteks utuh suatu pernyataan.

  • Kesulitan dalam menghadirkan saksi ahli independen, terutama dalam perkara yang berkaitan dengan tafsir agama, karena kebanyakan ahli berasal dari institusi keagamaan yang berpihak.

  • Ancaman terhadap advokat sendiri kadang muncul ketika membela perkara penistaan agama, karena dianggap membela penista agama oleh kelompok tertentu, sehingga perlu perlindungan hukum dan keamanan khusus.

Dengan demikian, dalam menghadapi perkara ini, peran advokat bukan hanya sebagai pembela hukum, tetapi juga sebagai mediator nilai-nilai konstitusional antara kebebasan berpendapat, hak beragama, dan ketertiban umum. KUHP Baru menyediakan struktur hukum yang lebih modern dan terukur, namun implementasinya sangat bergantung pada integritas aparat dan kesiapan sistem hukum dalam menegakkan keadilan secara objektif.

Artikel Terkait :

Artikel ini dirilis oleh :
Advokat & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Partners)

Perbedaan Pasal Penghinaan Presiden KUHP Baru dan KUHP Lama

Perbedaan Pasal Penghinaan Presiden KUHP Baru dan KUHP Lama
Perbedaan Pasal Penghinaan Presiden KUHP Baru dan KUHP Lama

Berikut penjelasan lengkap mengenai persamaan dan perbedaan tindak pidana Penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam KUHP Lama dan KUHP Baru, mencakup seluruh poin yang diminta sebagai bahan pertimbangan hukum dan referensi pendampingan perkara.

1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci tentang Tindak Pidana Penghinaan Presiden

Tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan perbuatan yang menyerang kehormatan atau nama baik Kepala Negara. Perbuatan ini bisa dilakukan melalui lisan, tulisan, simbol, tindakan terbuka di muka umum, atau melalui media sosial dan teknologi informasi. Esensi dari tindak pidana ini adalah penghinaan secara personal terhadap simbol kekuasaan eksekutif negara yang secara hukum dilindungi karena kedudukannya sebagai representasi negara.

Namun demikian, perdebatan telah lama muncul terkait dengan apakah Presiden sebagai pejabat publik seharusnya mendapat perlindungan hukum yang khusus terhadap kritik atau penghinaan yang dialamatkan padanya, mengingat sistem demokrasi menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Penghinaan yang bersifat kritik kebijakan atau kritik dalam ruang demokratis seharusnya dibedakan dengan penghinaan secara pribadi.

2. Dasar Hukum atau Isi Pasal yang Mengatur serta Penjelasan Lengkap dalam KUHP Baru dan KUHP Lama

KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht - WvS):

Dalam KUHP lama, pasal penghinaan terhadap Presiden termuat dalam:

  • Pasal 134 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menghina Presiden diancam dengan pidana penjara.

  • Pasal 136 bis KUHP: Menjelaskan tentang sanksi pidana tambahan terhadap penghinaan Presiden yang dilakukan di muka umum.

Namun pasal-pasal ini telah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28E (kebebasan berekspresi) dan Pasal 28D ayat (1) tentang persamaan di hadapan hukum.

Putusan MK tersebut menegaskan bahwa Presiden tidak boleh mendapatkan perlindungan khusus dari hukum penghinaan karena posisi Presiden sebagai pejabat publik justru harus siap menerima kritik. Ini menunjukkan bahwa dalam KUHP lama, meskipun pasal tersebut pernah eksis, namun secara praktis tidak lagi digunakan karena telah dibatalkan oleh MK.

KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana):

KUHP baru kembali mengatur penghinaan terhadap Presiden dalam Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, antara lain:

  • Pasal 218 ayat (1): Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

  • Pasal 218 ayat (2): Tidak merupakan tindak pidana jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

  • Pasal 219: Mengatur tentang penghinaan melalui media, termasuk sarana teknologi informasi dan komunikasi.

  • Pasal 220: Mengatur bahwa tindak pidana ini hanya dapat dituntut atas pengaduan (delik aduan) dari Presiden atau Wakil Presiden sendiri.

Perbedaan utama dibandingkan dengan KUHP lama adalah:

  • Pasal dalam KUHP baru secara eksplisit membedakan antara penghinaan yang murni menyerang pribadi dengan kritik yang sah demi kepentingan umum.

  • KUHP baru mengatur bahwa tindak pidana ini merupakan delik aduan, artinya tidak bisa serta-merta diproses tanpa adanya laporan dari pihak yang dihina (Presiden atau Wapres).

  • Adanya pengakuan terhadap kebebasan berekspresi, terutama jika tujuannya adalah kritik dalam kepentingan umum.

3. Contoh Kasus Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Perbandingan Penerapannya dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Contoh Kasus dalam Era KUHP Lama:

Salah satu kasus terkenal terjadi pada tahun 2007, saat aktivis politik Eggi Sudjana dan Muhammad Misbach Yusa Biran sempat dilaporkan karena membuat pernyataan bernada menghina Presiden. Namun proses hukumnya tidak dilanjutkan karena Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP pada tahun 2006. MK menyatakan bahwa pasal penghinaan terhadap Presiden bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan kebebasan berekspresi.

Contoh Potensial Kasus dalam Era KUHP Baru:

Setelah KUHP baru berlaku (mulai 1 Januari 2026), seorang warga bisa dipidana jika memposting komentar di media sosial yang menyebut Presiden dengan istilah kasar dan tidak pantas secara langsung menyerang kehormatan pribadi Presiden, misalnya menyebut nama Presiden disertai dengan kata-kata yang melecehkan secara pribadi tanpa dasar argumen kebijakan.

Namun, jika orang tersebut membuat postingan mengkritik kebijakan Presiden misalnya mengatakan “Presiden gagal menangani inflasi dan tidak berpihak pada petani” maka itu tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan, karena berada dalam ranah kritik untuk kepentingan umum, yang dikecualikan dari pemidanaan menurut Pasal 218 ayat (2).

Jadi dalam KUHP baru, terdapat penyeimbang antara perlindungan kehormatan pejabat publik dan hak warga negara untuk menyampaikan kritik.

4. Kesimpulan dan Hambatan dalam Proses Peradilan serta Pendampingan oleh Advokat/Pengacara

Kesimpulan:

  • KUHP Lama pernah mengatur secara tegas soal penghinaan terhadap Presiden, namun pasalnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap melanggar hak konstitusional warga negara.

  • KUHP Baru kembali menghidupkan aturan tersebut dengan sejumlah pembatasan dan koreksi agar tetap selaras dengan prinsip kebebasan berpendapat dalam demokrasi.

  • Perbedaan paling menonjol adalah bahwa dalam KUHP Baru, pasal ini menjadi delik aduan, serta adanya pengecualian untuk kritik demi kepentingan umum dan pembelaan diri.

  • KUHP Baru juga menyesuaikan dengan perkembangan zaman, terutama penggunaan media digital.

Hambatan dalam Proses Peradilan dan Pendampingan oleh Advokat:

  • Penafsiran batas antara kritik dan penghinaan bisa sangat subjektif. Ini menjadi tantangan utama bagi advokat untuk meyakinkan aparat penegak hukum atau hakim bahwa suatu pernyataan adalah kritik kebijakan, bukan penghinaan personal.

  • Delik aduan mempersulit posisi hukum jika Presiden/Wapres benar-benar mengajukan pengaduan pribadi, karena bisa dimaknai sebagai bentuk tekanan terhadap kebebasan sipil.

  • Potensi penyalahgunaan pasal untuk membungkam kritik publik tetap menjadi kekhawatiran utama. Advokat perlu cermat membedakan mana opini politik dan mana serangan pribadi.

  • Ketidaksamaan pemahaman antara penyidik, jaksa, dan hakim mengenai penerapan pasal 218 KUHP baru akan memperberat posisi pembela hukum dalam menjamin keadilan substantif bagi terdakwa.

Dalam praktiknya, pengacara harus menyiapkan analisis konstitusional dan yurisprudensi MK tahun 2006 sebagai argumen pendukung bahwa pasal ini rentan multitafsir. Pendekatan hak asasi manusia dan perbandingan hukum internasional tentang perlindungan kebebasan berekspresi juga perlu dibawa dalam argumentasi pembelaan.

Jika digunakan secara hati-hati, pasal ini memang dapat melindungi martabat institusi Presiden dari penghinaan yang tidak berdasar. Namun, jika digunakan secara represif, ia berpotensi menjadi alat politik untuk membungkam kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, posisi advokat sangat vital untuk memastikan batas konstitusional tetap dijaga.

Artikel Terkait :

Artikel ini ditulis oleh :
Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Rekan)
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan dengan pengawasan Advokat/Pengacara & Konsultan Hukum Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Partners)... Save Link - Andi AM