Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai persamaan dan perbedaan tindak pidana Penistaan Agama dalam KUHP Baru dan KUHP Lama, mencakup seluruh aspek mulai dari pengertian, dasar hukum, contoh kasus, hingga hambatan pendampingan hukum. Penjelasan ini dirancang sebagai bahan pertimbangan dan referensi hukum yang detail bagi advokat atau pengacara dalam menangani perkara penodaan agama di Indonesia.
1. Penjelasan Lengkap dan Terperinci tentang Tindak Pidana Penistaan Agama
Tindak pidana penistaan agama atau dalam istilah hukum sering disebut penodaan agama adalah perbuatan yang dianggap menghina, melecehkan, atau merendahkan suatu agama yang diakui di Indonesia, baik melalui perkataan, tulisan, simbol, maupun tindakan yang dilakukan di muka umum.
Penistaan agama memiliki dimensi ganda: pertama, berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama, dan kedua, menyangkut ketertiban umum. Negara memandang bahwa penodaan terhadap simbol atau ajaran agama dapat memicu ketegangan sosial dan bahkan konflik horizontal, sehingga diberi pengaturan khusus dalam hukum pidana.
Namun demikian, terdapat perdebatan panjang terkait sejauh mana suatu kritik, interpretasi keagamaan yang berbeda, atau ekspresi kebebasan berpendapat dapat dianggap sebagai penodaan agama. Inilah yang menjadikan penistaan agama sebagai salah satu pasal yang rentan multitafsir dan rawan politisasi, apalagi jika menyangkut konteks antariman, sekte dalam agama yang sama, atau bahkan aktivitas akademik dan kesusastraan.
2. Dasar Hukum atau Isi Pasal yang Mengatur serta Penjelasan Lengkap dalam KUHP Baru dan KUHP Lama
KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht - WvS):
Pasal penistaan agama dalam KUHP lama tidak diatur secara eksplisit dalam KUHP induk, melainkan diatur melalui Pasal 156a sebagai hasil dari Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian dinyatakan tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum setara dengan undang-undang.
Bunyi Pasal 156a KUHP Lama:
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Pasal ini sering digunakan untuk menjerat pelaku yang dianggap menghina simbol, ajaran, tokoh, kitab suci, atau upacara keagamaan dari agama yang diakui di Indonesia. Penafsirannya sering kali sangat bergantung pada persepsi publik dan aparat terhadap sensitivitas keagamaan.
KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023):
KUHP Baru tetap mengatur tindak pidana penodaan agama, namun dalam redaksi yang diperluas, dikodifikasi secara sistematis, dan dibedakan secara rinci dalam beberapa pasal, yaitu:
-
Pasal 300 KUHP Baru:
Setiap orang yang di muka umum melakukan perbuatan permusuhan, kebencian, atau hasutan untuk melakukan kekerasan terhadap agama atau kepercayaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori V. -
Pasal 301 KUHP Baru:
Mengatur perbuatan yang menghina agama atau keyakinan orang lain, termasuk menghina upacara keagamaan. -
Pasal 302 KUHP Baru:
Mengatur larangan mengganggu ibadah atau perayaan keagamaan secara paksa. -
Pasal 304 KUHP Baru:
Mengatur penyebaran ajaran yang bertentangan dengan ajaran pokok agama yang dianut di Indonesia, dengan unsur kesengajaan dan unsur di muka umum. -
Pasal 305 KUHP Baru:
Melarang pendirian atau penyebaran aliran kepercayaan dengan maksud menyesatkan atau menodai agama yang dianut di Indonesia.
Perbedaan utama antara KUHP Lama dan KUHP Baru:
-
Kodifikasi: KUHP Baru mengkodifikasi pasal-pasal penodaan agama secara lengkap dalam sistem hukum pidana nasional, sedangkan KUHP Lama hanya mengandalkan Pasal 156a hasil PP No. 1/PNPS/1965.
-
Redaksi yang lebih rinci dan berjenjang dalam KUHP Baru membedakan antara permusuhan, penghinaan, hasutan kekerasan, penggangguan ibadah, dan penyebaran ajaran yang menodai agama.
-
KUHP Baru juga memasukkan unsur perlindungan terhadap kepercayaan lokal dan minoritas, yang tidak cukup terlindungi dalam KUHP Lama.
-
KUHP Baru menambahkan klarifikasi batasan pidana, seperti unsur kesengajaan, niat menyesatkan, atau dilakukan di muka umum, yang membantu meminimalisir tafsir yang terlalu luas.
3. Contoh Kasus Tindak Pidana Penistaan Agama dan Perbandingan Penerapannya dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Kasus dalam Era KUHP Lama:
-
Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tahun 2016:
Ahok, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, menyebutkan dalam pidatonya di Kepulauan Seribu soal penggunaan Surat Al-Maidah 51 dalam konteks politisasi agama. Pernyataannya menimbulkan kontroversi besar dan gelombang protes. Ia akhirnya didakwa dan dihukum berdasarkan Pasal 156a KUHP karena dianggap telah menodai agama Islam.
Dalam konteks KUHP Lama, tidak terdapat banyak pasal pembanding. Unsur yang menjadi fokus adalah apakah ucapannya di muka umum mengandung unsur permusuhan atau penodaan terhadap agama Islam. Pendekatan yang digunakan lebih ke arah dampak sosial yang ditimbulkan, ketimbang analisis niat atau konteks.
Simulasi Kasus dalam Era KUHP Baru:
Misalnya, seseorang membuat konten video yang menertawakan ritual agama tertentu dan menyebarkannya ke media sosial. Jika terbukti mengandung unsur penghinaan terhadap agama atau dilakukan dengan niat permusuhan, maka orang tersebut dapat dijerat dengan:
-
Pasal 301 KUHP Baru jika kontennya berisi hinaan terhadap agama tertentu.
-
Jika konten itu juga mengandung hasutan untuk membenci atau melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama tertentu, maka dikenakan Pasal 300 KUHP Baru.
Namun, jika seseorang melakukan diskusi akademis atau publikasi yang menelaah sejarah kitab suci atau praktik ritual secara ilmiah, meskipun menimbulkan kontroversi, hal ini tidak serta-merta dianggap sebagai penistaan, apalagi jika tidak dilakukan dengan niat permusuhan atau penyesatan.
KUHP Baru lebih menekankan pada niat jahat (mens rea), unsur kesengajaan, dan konteks publik, serta memisahkan antara kritik internal agama dan penodaan yang disebarkan secara publik untuk merendahkan agama tertentu.
4. Kesimpulan dan Hambatan dalam Proses Peradilan serta Pendampingan oleh Advokat/Pengacara
Kesimpulan:
-
KUHP Lama mengatur penodaan agama secara singkat melalui Pasal 156a hasil PP No. 1/PNPS/1965. Sementara KUHP Baru melakukan kodifikasi yang lebih lengkap, terstruktur, dan membedakan berbagai bentuk perbuatan pidana terhadap agama.
-
Perbedaan penting antara KUHP Baru dan Lama terletak pada cakupan pasal, klasifikasi perbuatan, dan perlindungan terhadap keberagaman keyakinan termasuk kepercayaan lokal.
-
KUHP Baru mencoba untuk menyeimbangkan antara perlindungan agama dengan prinsip kebebasan berekspresi, dengan penekanan pada niat, kesengajaan, dan tindakan terbuka di muka umum.
Hambatan dalam Proses Peradilan dan Pendampingan oleh Advokat:
-
Multitafsir terhadap kata “menodai” atau “menghina” agama masih menjadi tantangan utama. Advokat sering kali harus menjelaskan konteks, niat, dan latar belakang budaya klien untuk membedakan antara kritik, satir, atau ekspresi kebebasan beragama dengan penghinaan murni.
-
Tekanan massa atau opini publik sangat mempengaruhi penanganan kasus penistaan agama. Aparat penegak hukum cenderung bersikap represif jika kasus menjadi sorotan besar, yang dapat mengorbankan prinsip due process of law.
-
Bukti digital dalam kasus penistaan agama seringkali dipenggal atau dikemas ulang di media sosial, sehingga advokat harus bekerja ekstra dalam membuktikan konteks utuh suatu pernyataan.
-
Kesulitan dalam menghadirkan saksi ahli independen, terutama dalam perkara yang berkaitan dengan tafsir agama, karena kebanyakan ahli berasal dari institusi keagamaan yang berpihak.
-
Ancaman terhadap advokat sendiri kadang muncul ketika membela perkara penistaan agama, karena dianggap membela penista agama oleh kelompok tertentu, sehingga perlu perlindungan hukum dan keamanan khusus.
Dengan demikian, dalam menghadapi perkara ini, peran advokat bukan hanya sebagai pembela hukum, tetapi juga sebagai mediator nilai-nilai konstitusional antara kebebasan berpendapat, hak beragama, dan ketertiban umum. KUHP Baru menyediakan struktur hukum yang lebih modern dan terukur, namun implementasinya sangat bergantung pada integritas aparat dan kesiapan sistem hukum dalam menegakkan keadilan secara objektif.
- Perbedaan Pasal Pembunuhan KUHP Baru dan KUHP Lama
- Perbedaan Pasal Penganiayaan KUHP Baru dan KUHP Lama
- Perbedaan Pasal Pencurian KUHP Baru dan KUHP Lama
- Perbedaan Pasal Penipuan KUHP Baru dan KUHP Lama
- Perbedaan Pasal Penggelapan KUHP Baru dan KUHP Lama
- Perbedaan Pasal Pemerkosaan KUHP Baru dan KUHP Lama
- Perbedaan Pasal Pencabulan KUHP Baru dan KUHP Lama
- Perbedaan Pasal Perzinahan KUHP Baru dan KUHP Lama
- Perbedaan Pasal Perjudian KUHP Baru dan KUHP Lama
Advokat & Konsultan Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH & Partners (ABR & Partners)