Tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP adalah: “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan berasal dari kata “perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar (menyerang, dsb) dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memperkosa; melanggar dengan kekerasan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian perkosaan adalah:
- Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seseorang wanita tanpa persetujuannya.
- Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kemauan/ kehendak wanita yang bersangkutan.
- Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan seorang pria terhadap seorang wanita yang bukan istrinya atau tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lannya.
(1) Seductive rape
Pemerkosaan yang terjadi karena pelaku merasa terangsang nafsu birahi, dan ini bersifat sangat subyektif. Biasanya tipe pemerkosaan seperti ini terjadi justru di antara mereka yang sudah saling mengenal, misalnya pemerkosaan oleh pacar, teman, atau orang-orang terdekat lainnya. Faktor pergaulan atau interaksi sosial sangat berpengaruh pada terjadinya pemerkosaan.
(2) Sadistic rape
Pemerkosaan yang dilakukan secara sadis. Dalam hal ini pelaku mendapat kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, melainkan karena perbuatan kekerasan yang dilakukan terhadap tubuh perempuan, terutama pada organ genetalianya.
(3) Anger rape
Perkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan kemarahan pelaku. Perkosaan jenis ini biasanya disertai tindakan brutal secara fisik. Kepuasan seks bukan merupakan tujuan utama dari pelaku, melainkan melampiaskan rasa marahnya.
(4) Domination rape
Dalam hal ini pelaku ingin menunjukkan dominasinya pada korban. Kekerasan fisik bukan merupakan tujuan utama dari pelaku, karena ia hanya ingin menguasai korban secara seksual. Dengan demikian pelaku dapat membuktikan pada dirinya bahwa ia berkuasa atas orang-orang tertentu, misalnya korban perkosaan oleh majikan terhadap pembantunya.
(5) Exploitation rape.
Perkosaan jenis ini dapat terjadi karena ketergantungan korban pada pelaku, baik secara ekonomis maupun sosial. Dalam hal ini tanpa menggunakan kekerasan fisikpun pelaku dapat memaksakan keinginannya pada korban. Misalnya, perkosaan oleh majikan terhadap buruhnya. Meskipun ada persetujuan, hal itu bukan karena ada keinginan seksual dari korban, melainkan ada ketakutan apabila dipecat dari pekerjaannya.
Rumusan pada Pasal 285 KUHP menyebutkan bahwa “Barangsiapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
PENGERTIAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN
Rumusan tindak pidana zina dalam Pasal 284 KUHP adalah perzinaan yang dilakukan oleh dua orang yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dan diadukan oleh isteri atau suami pelaku zina dan dilakukakan atas dasar suka sama suka. Hukumannya adalah maksimal sembilan bulan penjara. Untuk tindak pidana ini KUHP menempatkannya sebagai tindak pidana aduan.
Permasalahan yang Muncul Berkenaan Pasal 284 KUHP
Berdasarkan Pasal 284 KUHP, perbuatan yang disebut sebagai perzinahan adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya atau salah satu dari mereka telah menikah. Sehingga apabila perbuatan bersetubuh itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang keduanya tidak diikat oleh perkawinan dengan orang lain maka bukan termasuk perzinahan.
Batasan yang diberikan KUHP itu dirasa sangat sempit. Namun hal ini dimaklumi karena KUHP disusun oleh kolonial Belanda yang mempunyai pandangan berbeda dengan pandangan masyarakat dalam memandang perbuatan zina. Menurut pembentuk undang-undang, perzinahan hanya dapat terjadi karena pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Seperti yang disebut dalam Van Dale’s Groat Woordenboek der Nederlanche yang menyatakan bahwa perzinahan berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan.
Padahal menurut pandangan masyarakat Indonesia umumnya, perrbuatan zina dapat terjadi apabila ada persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Pengertian seperti ini lebih luas dari pada pengertian overspel dalam KUHP.
PENGERTIAN TINDAK PIDANA PENCABULAN
Pasal 289 KUHP (Pencabulan) "Barangsiapa dengan kekerasaan atau ancaman kekerasaan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan perbuataan cabul,diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan denamg pidana penjara paling lama 9 tahun"
Inti deliknya:
- Kekerasaan atau ancaman kekerasan
- Memaksa seseorang / membiarkan perbuataan cabul.
KESIMPULAN SEMENTARA :
Tidak semua pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kesusilaan termasuk dalam delik aduan. Untuk dapat mengetahui apakah suatu pengaturan mengenai suatu tindak pidana merupakan delik aduan atau delik biasa, kita harus melihat konstruksi dari pasal yang mengatur. Seperti misalnya zina dan perkosaan. Zina termasuk delik aduan, sedangkan perkosaan termasuk delik biasa.
Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak, jika dilihat pasal-pasal yang terkait kesusilaan (persetubuhan dengan anak dan percabulan terhadap anak), tidak ada keharusan untuk dilaporkan oleh korbannya (delik biasa).
PENGERTIAN DELIK ADUAN
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kita lihat pengertian mengenai delik aduan. Terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara.
Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Delik Aduan Terbagi Dua yaitu :
(1) Delik Aduan Absolut.
Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah.
Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284 KUHP) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.
(2) Delik Aduan Relatif
Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367 KUHP, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah.
Misalnya, seorang bapak yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362 KUHP) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus berbunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.
UU PERLINDUNGAN ANAK (PENCABULAN)
Ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (“UU Perlindungan Anak”) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 76D (persetubuhan dengan anak) dan Pasal 76E (pencabulan anak), sebagai berikut:
Pasal 76D UU Perlindungan Anak:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76E UU Perlindungan Anak:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak sebagai berikut:
Pasal 81 UU Perlindungan Anak:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membuju k Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 82 UU Perlindungan Anak:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dari rumusan Pasal 76D dan Pasal 76E jo. Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik persetubuhan dengan anak dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
KESIMPULAN AKHIR
Jika anda merasa artikel penjelasan diatas masih kurang lengkap, maka silahkan baca lebih lanjut artikel lebih rincinya disini:
- Penjelasan Lengkap Delik Aduan (Klik Disini)
- Penjelasan Tentang Waktu Terjadinya Tindak Pidana (Klik Disini)
- Percobaan Dalam Tindak Pidana (Klik Disini)
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|