I. Memahami Tindak Pidana Perkosaan
Tindak pidana perkosaan merupakan masalah yang sangat serius. Adanya keengganan korban untuk melaporkan karena tidak di dukung oleh keluarga dan masih melekatnya budaya malu di dalam masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan secara terbuka. Hanya sedikit korban dan keluarganya yang kemudian melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. Selain itu media massa juga hanya mengungkapkan sebagian kecil dari kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi.
Tindak pidana perkosaan adalah tindak pidana konvensional yang saat ini semakin sering terjadi namun selalu sulit untuk di adili karena salah satunya adanya keenganan korban untuk melaporkannya. Hingga saat ini masing terjadi pro dan kontra atas konsepsi dan pengertian tindak pidana perkosaan serta cara penanggulangannya. Akan tetapi tindak pidana perkosaan baik secara yuridis dan sosiologis merupakan tindakan yang sangat dicela dan sangat merugikan pihak korban.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana perkosaan, kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian tindak pidana perkosaan yang mengecualikan beberapa hal, diantaranya tidak mengenal perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, mengesampingkan perkosaan yang tidak dilakukan tanpa penetrasi penis kedalam vagina, mengesampingkan perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik tetapi karena alasan perbedaan posisi tawar antara pelaku dengan korban.
Artikel yang mungkin berkaitan :
Kejahatan perkosaan dalam KUHP di atur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP, walaupun kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP, pasal-pasal lainnya menggunakan rumusan bersetubuh.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994 : 766), perkosaan disebutkan sebagai “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi....” Makna ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan.
Dalam rumusan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah kekerasan seksual. Istilah kekerasan seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukan berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual dan lain-lain.
Sedangkan istilah yang digunakan dalam KUHP adalah kejahatan terhadap kesusilaan, tidak menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang.
III. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
Mengenai tindak pidana perkosaan atau verkrachting, ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut.
Satochid Kartanegara menyatakan : “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain”. Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.
Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Beberapa pakar memberikan pengertian kekerasan sebagai berikut :
Menurut R. Soesilo kekerasan ialah “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak syah”. Sedangkan Satochid mengartikan kekerasan adalah “setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat”.
Secara lebih khusus, Adami Chazawi memberikan pengertian kekerasan dalam Pasal 285 sebagai berikut : “Kekerasan yaitu suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik”. Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya ialah wujud konkritnya dari cara kekerasan ada bermacam-macam yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menusuk, dan lain sebagainya.
Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), undang-undang juga tidak memberikan penjelasannya. Namun dalam arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914 dan tanggal 18 Oktober 1915 mengenai “ancaman kekerasan” disyaratkan :
Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi. Pada saat ini pengertian “bersetubuh” diartikan bila penis telah masuk (penetrasi) ke dalam vagina.
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP diatas, perkosaan tidaklah disebut perkosaan apabila tidak terbukti adanya persetubuhan, padahal untuk membuktikan adanya persetubuhan sangat sulit terlebih apabila korban sudah pernah menikah atau bukan gadis lagi (tidak virgin). Apabila dalam suatu kasus yang diduga sebagai perkosaan ternyata tidak terbukti adanya persetubuhan, kasus tersebut dapat diarahkan pada tindak pidana pencabulan dimana dalam tindak pidana tersebut tidak disyaratkan adanya persetubuhan.
Baca Juga :
Kami akan tetap mengupdate artikel tentang "Kejahatan Pemerkosaan" pada artikel berikutnya, silahkan dipantau gan.
Salam,
Andi Akbar Muzfa SH
Tindak pidana perkosaan merupakan masalah yang sangat serius. Adanya keengganan korban untuk melaporkan karena tidak di dukung oleh keluarga dan masih melekatnya budaya malu di dalam masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan secara terbuka. Hanya sedikit korban dan keluarganya yang kemudian melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. Selain itu media massa juga hanya mengungkapkan sebagian kecil dari kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi.
Tindak pidana perkosaan adalah tindak pidana konvensional yang saat ini semakin sering terjadi namun selalu sulit untuk di adili karena salah satunya adanya keenganan korban untuk melaporkannya. Hingga saat ini masing terjadi pro dan kontra atas konsepsi dan pengertian tindak pidana perkosaan serta cara penanggulangannya. Akan tetapi tindak pidana perkosaan baik secara yuridis dan sosiologis merupakan tindakan yang sangat dicela dan sangat merugikan pihak korban.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana perkosaan, kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian tindak pidana perkosaan yang mengecualikan beberapa hal, diantaranya tidak mengenal perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, mengesampingkan perkosaan yang tidak dilakukan tanpa penetrasi penis kedalam vagina, mengesampingkan perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik tetapi karena alasan perbedaan posisi tawar antara pelaku dengan korban.
Artikel yang mungkin berkaitan :
- Perbedaan Delik Pemerkosaan, Perzinahan Dan Pencabulan
- Penjelasan Tentang Pelecehan Seksual Dan Cara Mengantisipasinya
Kejahatan perkosaan dalam KUHP di atur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP, walaupun kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP, pasal-pasal lainnya menggunakan rumusan bersetubuh.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994 : 766), perkosaan disebutkan sebagai “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi....” Makna ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan.
Dalam rumusan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah kekerasan seksual. Istilah kekerasan seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukan berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual dan lain-lain.
Sedangkan istilah yang digunakan dalam KUHP adalah kejahatan terhadap kesusilaan, tidak menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang.
III. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
Mengenai tindak pidana perkosaan atau verkrachting, ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
- Perbuatannya : memaksa,
- Caranya : 1) dengan kekerasan, 2) dengan ancaman kekerasan;
- Seorang wanita bukan istrinya;
- Bersetubuh dengan dia.
Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut.
Satochid Kartanegara menyatakan : “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain”. Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.
Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Beberapa pakar memberikan pengertian kekerasan sebagai berikut :
Menurut R. Soesilo kekerasan ialah “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak syah”. Sedangkan Satochid mengartikan kekerasan adalah “setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat”.
Secara lebih khusus, Adami Chazawi memberikan pengertian kekerasan dalam Pasal 285 sebagai berikut : “Kekerasan yaitu suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik”. Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya ialah wujud konkritnya dari cara kekerasan ada bermacam-macam yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menusuk, dan lain sebagainya.
Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), undang-undang juga tidak memberikan penjelasannya. Namun dalam arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914 dan tanggal 18 Oktober 1915 mengenai “ancaman kekerasan” disyaratkan :
- Bahwa ancaman harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan tersebut benar-benar akan merugikan kebebasan pribadinya,
- Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti yang diancamkan.
- Mengenai wanita bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang bukan istrinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami isteri dalam perkawinan.
Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi. Pada saat ini pengertian “bersetubuh” diartikan bila penis telah masuk (penetrasi) ke dalam vagina.
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP diatas, perkosaan tidaklah disebut perkosaan apabila tidak terbukti adanya persetubuhan, padahal untuk membuktikan adanya persetubuhan sangat sulit terlebih apabila korban sudah pernah menikah atau bukan gadis lagi (tidak virgin). Apabila dalam suatu kasus yang diduga sebagai perkosaan ternyata tidak terbukti adanya persetubuhan, kasus tersebut dapat diarahkan pada tindak pidana pencabulan dimana dalam tindak pidana tersebut tidak disyaratkan adanya persetubuhan.
Baca Juga :
- Perbedaan Delik Pemerkosaan, Perzinahan Dan Pencabulan
- Penjelasan Tentang Pelecehan Seksual Dan Cara Mengantisipasinya
Kami akan tetap mengupdate artikel tentang "Kejahatan Pemerkosaan" pada artikel berikutnya, silahkan dipantau gan.
Salam,
Andi Akbar Muzfa SH
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|