Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut Lamintang, tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP tersebut di atas itu terdiri dari unsur subyektif dan unsur obyektif.
A. Unsur subyektif
’met het oogmerk om het zich wederrehtelijk toe te eigenen’ atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum;
B. Unsur obyektif
- ’hij’ atau barangsiapa;
- ’wegnemen’ atau mengambil;
- ’eenig goed’ atau sesuatu benda;
- ’dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort’ atau yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.
’Unsur obyektif yang kedua’ dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan ’mengambil’ dari tempat di mana barang tersebut terletak. Oleh karena di dalam kata ’mengambil’ sudah tersimpul pengertian ’sengaja’ maka undang-undang tidak menyebutkan ’dengan sengaja mengambil’. Kalau kita mendengar kata ’mengambil’ maka pertama terpikir oleh kita adalah membawa sesuatu barang dari suatu tempat ke tempat lain. Perbuatan ’mengambil’ tidak cukup apabila si pelaku hanya memegang barangnya saja, akan tetapi si pelaku harus melakukan suatu perbuatan sehingga barang yang dimaksud jatuh di dalam kekuasaannya.
Kaitannya dengan unsur ’mengambil’, Moch. Anwar mengemukakan pendapatnya tentang ’mengambil’ dari tindak pidana pencurian sebagai berikut :
”Unsur ’mengambil’ mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan masyarakat. ’Mengambil’ pada mulanya diartikan memindahkan barang dari tempat semula ke tempat lain. Ini berarti membawa barang di bawah kekuasaannya yang nyata. Perbuatan ’mengambil’ berarti perbuatan yang mengakibatkan barang berada di bawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang itu berada di luar kekuasaan pemiliknya. Tetapi hal ini tidak selalu demikian, sehingga tidak perlu disertai akibat dilepaskannya dari kekuasaan pemilik”.
Mengenai pengertian unsur ’mengambil’ yang diberikan oleh Lamintang, sebagai berikut :
”Perlu diketahui bahwa baik undang-undang maupun pembentuk undang-undang ternyata tidak pernah memberikan suatu penjelasan tentang yang dimaksud dengan perbuatan ’mengambil’, sedangkan menurut pengertian sehari-hari kata ’mengambil’ itu sendiri mempunyai lebih dari satu arti, yakni :
- mengambil dari tempat di mana suatu benda itu semula berada;
- mengambil suatu benda dari penguasaan orang lain.
Sarjana lain yang memberikan pengertian tentang perbuatan ’mengambil’ diantaranya adalah Simons, pengertiannya adalah sebagai berikut : ”Mengambil itu ialah membawa suatu benda menjadi berada dalam penguasannya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada di bawah kekuasaannya yang nyata, dengan kata lain, pada waktu pelaku melakukan perbuatannya, benda tersebut harus belum berada dalam penguasannya”.
Karena tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu adalah merupakan suatu ’tindak pidana formil’, maka tindak pidana tersebut harus dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya yaitu segera setelah pelaku tersebut melakukan perbuatan ’mengambil’ seperti yang dilarang untuk dilakukan orang di dalam Pasal 362 KUHP.
’Unsur obyektif ketiga’ dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah ’eenig goed’ atau ’suatu benda’. Kata ’goed’ atau ’benda’ itu oleh para pembentuk Kitab Undag-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini, ternyata bukan hanya dipakai di dalam rumusan Pasal 362 KUHP saja melainkan juga di dalam rumusan-rumusan dari lain-lain tindak pidana, seperti pemerasan, penggelapan, penipuan, pengrusakan, dan lain-lain. Pada waktu Pasal 362 KUHP tertentu, orang hanya bermaksud untuk mengartikan kata ’goed’ yang terdapat di dalam rumusannya, semata-mata sebagai ’stoffelijk en reorend god’ atau sebagai ’sebagai benda yang berwujud dan menurut sifatnya dapat dipindahkan’.
Tentang pengertian ’barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain’ terhadap pengertian tersebut, Moch. Anwar mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
”Pengertian barang telah mengalami proses perkembangan. Dari arti barang yang berwujud menjadi setiap barang yang menjadi bagian dari harta kekayaan. Semula barang ditafsirkan sebagai barang-barang yang berwujud dan dapat dipindahkan (barang bergerak). Tetapi kemudian ditafsirkan sebagai setiap bagian dari harta benda seseorang.
Dengan demikian barang itu harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai di dalam kehidupan ekonomi dari seseorang. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya sedangkan obyek pencurian, atau sebagain lagi adalah kepunyaan pelaku sendiri. Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian, yaitu barang-barang dalam keadaan ’res nellius’ dan res derelictae’.
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan ’barang’ adalah segala sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak). Bukan barang yang tidak bergerak (onroerend goed), tetapi yang dapat bergerak (roerend goed), karena dalam pencurian barang itu harus dapat dipindahkan. Pencurian tidak dapat terjadi terhadap barang-barang yang tidak bergerak seperti tanah, sawah, gedung, dan sebagainya.
Berkenaan dengan kenyataan-kenyataan sebagaimana tersebut di atas, Simons mengatakan bahwa ’Segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta kekayaan (seseorang) yang dapat diambil (oleh orang lain) itu, dapat menjadi obyek tindak pidana pencurian’. Dari kata-kata ’segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta kekayaan’ di atas dapat disimpulkan, bahwa dapat menjadi obyek tindak pidana pencurian itu hanyalah benda-benda yang ada pemiliknya saja.
Moch. Anwar menjelaskan pengertian ’dengan maksud melawan hukum’, istilah ini terwujud dalam kehendak, keinginan atau tujuan dari pelaku untuk memiliki barang secara melawan hukum. Melawan hukum di sini diartikan sebagai perbuatan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari pelaku. Pelaku harus sadar, bahwa yang diambilnya adalah milik orang lain. Lebih lanjut mengenai pengertian ’memiliki barang bagi diri sendiri’ Moch. Anwar berpendapat sebagai berikut :
”Memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya, sedangkan ia bukanlah pemiliknya. Maksud memiliki barang bagi diri sendiri itu terwujud dalam berbagai jenis perbuatan, yaitu menjual, memakai, memberikan kepada orang lain, menggadaikan, menukarkan, merubahnya, dan sebagainya. Pendeknya setiap penggunaan atas barang yang dilakukan pelaku seakan-akan pemilik, sedangkan ia bukan pemilik. Maksud untuk memiliki barang itu tidak perlu terlaksana, cukup apabila maksud itu ada. Meskipun barang itu belum sempat dipergunakan, misalnya sudah tertangkap dulu, karena kejahatan pencurian telah selesai terlaksana dengan selesainya perbuatan mengambil barang.
Sejalan dengan pendapat di atas, R. Soesilo mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : ”Pengambilan harus dilakukan dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum. ’Memiliki’ artinya bertindak sebagai orang yang punya, sedangkan ’melawan hukum’ berarti tidak berhak, bertentangan dengan hak orang lain, tidak minta ijin terlebih dahulu”.
Kata-kata ’memiliki secara melawan hukum’ itu sendiri mempunyai arti yang jauh lebih luas dari sekedar apa yang disebut ’zich toeeigenen’, karena termasuk dalam pengertiannya antara lain ialah ’cara’ untuk dapat memiliki suatu barang.
Catatan Kuliah
Makasiswa FH UMI Makassar 06
Update By. Andi Akbar Muzfa SH
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|