SENIOR KAMPUS - Penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional yang baru untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana nasional yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna “dekolonisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung pelbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan baik nasional maupun internasional.
Adapun misi kedua adalah misi “demokratisasi hukum pidana” yang antara lain ditandai dengan masuknya Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian (haatzaai-artikelen) yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil. Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana” karena sejak kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang pesat baik di dalam maupun di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan pelbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka Asas-Asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru dilakukan atas dasar misi keempat yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap pelbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.
Pelbagai misi tersebut diletakkan dalam kerangka politik hukum yang tetap memandang perlu penyusunan Hukum Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi yang dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menelusuri sejarah hukum pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad 1915 : 732). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek van Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-Indie disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden.
Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh Indonesia ini, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah-daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi militer Belanda I dan II di mana untuk daerah-daerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad 1915 : 732) dengan segala perubahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1958 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958.
Undang-Undang tersebut menentukan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan semua perubahan dan tambahannya berlaku untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian berlakulah hukum pidana materiil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 yaitu “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie”, yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Harus diakui bahwa di Era Kemerdekaan telah banyak dilakukan usaha untuk menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan dengan perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional. Dalam hal ini di samping pelbagai perubahan yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah beberapa kali mengalami pembaharuan dan/atau perubahan sebagai berikut :
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menaikkan ancaman hukuman dalam Pasal-pasal 359, 360 dan 188 KUHP;
- Undang-Undang Noomor 16 Prp. Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang merubah kata-kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi “duaratus lima puluh rupiah”;
- Undang-Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Dalam Ketentuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945;
- Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer;
- Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Atau Penodaan Agama, yang antara lain telah menambahkan ke dalam KUHP Pasal 156a ;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, yang merubah ancaman pidana dalam Pasal-pasal 303 ayat (1), 542 ayat (1) dan 542 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.;
- Undang-Undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.;
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, khususnya berkaitan dengan kriminalisasi terhadap Penyebaran Ajaran Marxisme dan Leninisme;
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada dasarnya menetapkan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Penyuapan dan Tindak Pidana Jabatan menjadi Tindak Pidana Korupsi.
Admin : Andi Akbar Muzfa, SH
Support : Bloh Tenaga Sosial
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|