View All MAKALAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 18 Oktober 2017, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Hukum Pidana » Penjelasan KUHP Buku Kesatu

Penjelasan KUHP Buku Kesatu

BUKU KESATU
KUHP (PIDANA) WARISAN BELANDA DAN KUHP BARU
Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Belanda (Wetboek van Strafrecht) dengan  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru adalah filosofi yang mendasarinya. KUHP Warisan Belanda secara keseluruhan dilandasi oleh pemikiran Aliran Klasik (Classical School) yang berkembang pada Abad ke-18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau tindak pidana (Daad- Strafrecht). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru mendasarkan diri pada pemikiran Aliran Neo-Klasik (Neo-Classical School) yang  menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subyektif (orang/batiniah/sikap batin).

Aliran ini  berkembang pada  Abad ke- 19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana (Daad-dader Strafrecht). Pemikiran mendasar lain yang mempengaruhi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology) yang berkembang setelah Perang Dunia II, yang menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Baik falsafah “Daad-dader Strafrecht” maupun viktimologi akan mempengaruhi perumusan 3 (tiga) permasalahan pokok dalam hukum pidana yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dan sanksi (pidana dan tindakan) yang dapat dijatuhkan beserta asas-asas hukum pidana yang mendasarinya.

FAKTOR OBJEKTIF & SUBJEKTIF
Karakter “Daad-dader Strafrecht” yang lebih manusiawi tersebut secara sistemik mewarnai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru, yang antara lain juga tersurat dan tersirat dari adanya pelbagai pengaturan yang berusaha menjaga kesimbangan antara unsur/faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan unsur/faktor subyektif (manusia/batiniah/sikap batin).

Hal ini antara lain tercermin dari pelbagai pengaturan tentang Tujuan Pemidanaan, Syarat Pemidanaan,  pasangan Sanksi berupa Pidana dan Tindakan, pengembangan Alternatif Pidana Kemerdekaan jangka pendek, Pedoman atau Aturan Pemidanaan,  Pidana Mati Bersyarat, dan pengaturan Batas Minimum Umum Pertanggungjawaban Pidana,  Pidana serta Tindakan Bagi Anak.

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
Pembaharuan Hukum Pidana materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana (strafbaarfeit) berupa kejahatan (misdrijven) dan  tindak pidana pelanggaran (overtredingen). Untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru nantinya hanya terdiri atas 2 (dua) Buku yaitu Buku Kesatu memuat Ketentuan Umum dan Buku Kedua  yang memuat ketentuan tentang Tindak Pidana. Adapun Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang Tindak Pidana Pelanggaran dihapus dan materinya secara selektif ditampung ke dalam Buku Kedua dengan kualifikasi Tindak Pidana.

Alasan penghapusan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa secara konseptual perbedaan antara kejahatan sebagai “rechtsdelict” dan pelanggaran sebagai “wetsdelict” ternyata tidak dapat dipertahankan, karena dalam perkembangannya tidak sedikit beberapa “rechtsdelict” dikualifikasikan  sebagai pelanggaran  dan sebaliknya beberapa perbuatan yang seharusnya merupakan “wetsdelict” dirumuskan sebagai kejahatan,  hanya karena diperberat ancaman pidananya. Kenyataan juga membuktikan bahwa persoalan berat ringannya kualitas dan dampak tindak pidana kejahatan dan pelanggaran juga relatif, sehingga kriteria kualitatif semacam ini dalam kenyataannya  tidak lagi dapat dipertahankan secara konsisten.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini diakui pula adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana.

Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan oleh pembuat tindak pidana. Hal ini mengandung arti, bahwa standar,  nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

PEMBATASAN HUKUM PIDANA
Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka  subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural  person) tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum  (legal person) maupun bukan badan hukum.

Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for corporation). Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subyek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility).

Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban pidana dipikul bersama oleh korporasi dan pengurusnya yang memiliki kedudukan fungsional dalam korporasi  atau hanya pengurusnya saja yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan diaturnya pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka pertanggungjawaban pidana bagi korporasi  yang semula hanya berlaku untuk tindak-tindak pidana tertentu di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berlaku juga secara umum untuk tindak-tindak pidana lain baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sanksi  terhadap korporasi dapat berupa pidana (straf), namun dapat pula berupa tindakan tata tertib (maatregel). Dalam hal ini kesalahan korporasi diidentifikasikan dari kesalahan pengurus yang memiliki kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili korporasi, mengambil keputusan atas nama korporasi  dan kewenangan menerapkan pengawasan terhadap  korporasi), yang melakukan tindak pidana dengan menguntungkan korporasi, baik sebagai pelaku, sebagai orang yang menyuruhlakukan, sebagai  orang yang turutserta melakukan, sebagai penganjur maupun sebagai pembantu tindak pidana yang dilakukan bawahannya di dalam  lingkup usaha atau  pekerjaan korporasi tersebut.

PRADUGA TAKBERSALAH
Asas tiada  pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun demikian dalam hal-hal tertentu sebagai perkecualian dimungkinkan penerapan asas “strict liability” dan asas “vicarious liability”.

Dalam hal yang pertama, pembuat tindak pidana telah dapat  dipidana  hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya, sedangkan yang kedua tanggungjawab pidana seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.

JENIS-JENIS PIDANA
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini diatur mengenai jenis pidana  berupa pidana pokok, pidana mati,  dan pidana tambahan. Jenis pidana pokok terdiri atas :
  1. pidana penjara;
  2. pidana tutupan;
  3. pidana pengawasan;
  4. pidana denda; dan 
  5. pidana kerja sosial.
Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru  berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini bersama dengan pidana denda perlu dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek (short prison sentence) yang akan dijatuhkan oleh hakim, sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari  rasa bersalah, di samping untuk menghindari efek destruktif dari pidana perampasan kemerdekaan. Demikian pula masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Urutan jenis pidana pokok tersebut di atas menentukan berat ringannya pidana (strafmaat). Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana (strafsoort)  yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada hakikatnya  merupakan cara pelaksanaan pidana (strafmodus) sebagai alternatif  pidana penjara.

Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.  Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana  perampasan kemerdekaan.

PEMIDANAAN
Dalam pemidanaan dianut sistem dua jalur (double-track system), sebab di samping jenis-jenis pidana tersebut di atas, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur pula jenis-jenis tindakan (maatregelen). Dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan karena menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa atau retardasi mental.

Di samping itu dalam hal tertentu tindakan dapat pula diterapkan kepada terpidana yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan maksud untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dan menumbuhkan tata tertib sosial.

RAMBU-RAMBU PEMIDANAAN
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula rambu-rambu  pemidanaan baru yang berkaitan dengan berat ringannya pidana yakni berupa ancaman pidana minimum khusus yang sebenarnya sebelumnya  juga sudah dikenal dalam perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan pertimbangan :
  1. untuk menghindari  adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi  tindak pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya;
  2. untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;
  3. apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk  minimum pidana pun  dalam hal-hal tertentu dapat diperberat.   
Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.

PIDANA DENDA DALAM KUHP
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Buku Kesatu.

Dasar pemikiran penggunaan sistem kategori ini adalah  bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering berubah nilainya karena perkembangan nilai mata uang akibat situasi perekonomian. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai mata uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula mengenai jenis pidana, berat ringannya pidana  dan cara pelaksanaan  pemidanaan secara khusus terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari perkembangan fisik maupun psikis anak berbeda dari orang dewasa. Selain itu, pengaturan  secara khusus terhadap anak berkaitan dengan kenyataaan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dalam kerangka pemajuan dan perlindungan Hak- Hak Asasi Manusia. 

Admin : Andi Akbar Muzfa, SH
Support : Blog Tenaga Sosial
KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Kami hanyalah sekumpulan kecil dari kalangan akademisi yang senang berbagi pengetahuan melalui Blogging... Save Link - Andi AM