Era globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap Indonesia yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi, politik, HAM, keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai Negara besar harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan bangsa lain dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu komponen penghuninya yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa lain.
Dalam pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau dan sangat mendesak adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya sejak jauh hari salah seorang pakar hukum yang sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau adalah Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947;
“bahwa hukum dalam masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”.
Karena itu dalam menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata, baik yang bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma kebuyaan timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)
Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel (WvK) selanjutnya disebut dengan KUHDagang, dapat dikatakan telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti
- Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,
- Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
- Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995,
- Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996,
- Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999,
- Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
- Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
- Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
- Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
- Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).
Tetapi kemudian dalam kenyataannya harus diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang menentang gagasan Sahardjo, S.H. dan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tersebut, diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga Prof. Subekti, S.H., sebagai pengganti Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak setujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Tahun 1975.
Menurut Subekti, bahwa :
“baik gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah Agung, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya dapat dianggap sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut menyingkirkan pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membikin yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919 yang memperluas pengertian Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang menyingkirkan Pasal 1152 BW yang mengharuskan penyerahan barang yang digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang menggadaikan”. (Z.A. Ahmad, 1986 : 51).
Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, untuk terus menggali dan mencermati berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut. Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi.
Maka sudah sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang bagaimana ketentuan-ketentuan yang berkaitan peraturan-peraturan peninggalan penjajahan tersebut diganti dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan dalam perkembangannya dan penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek hukum lainnya, seperti; aspek hukum pidana, administrasi maupun ketentuan hukum Internasional sebagai akibat pengaruh global dan hubungan antar warga yang berlainan kewarganegaraannya.
Dalam pada itu, tentang bagaimana kedudukan Hukum Perdata BW khususnya KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sebagaimana dimaksudkan di atas, Saleh Adiwinata, mengemukakan "Persoalan ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Kehakiman RI tahun 1962 pada salah satu Rapat Kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei tahun 1962" (S. Adiwinata, 1983; 26). Menurut Saleh, dalam hal mana; "Menteri Kehakiman, pada waktu itu Sahardjo, SH, melontarkan suatu problema hukum : "Apakah BW sebagai kodifikasi tidak telah habis masa berlakunya pada saat kita memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 ?".
Sahardjo berpendapat bahwa BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis. Dengan kata lain BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek yang hanya dipakai suatu pedoman" (S. Adiwinata, 1983; 26).
Admin : Andi Akbar Muzfa, SH
Support : Blog Tenaga Sosial (ilmu hukum)
KONSULTASI HUKUM GERATIS... |
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566 Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain... Save Link - Andi AM |
✂ Waktunya Belajar... |
Loading Post...
|