View All MAKALAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 18 Oktober 2017, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Delik Tindak Pidana , Tindak Pidana Penipuan » Pengertian Delik Penipuan dan Unsur-Unsurnya

Pengertian Delik Penipuan dan Unsur-Unsurnya

Pengertian Delik Penipuan dan Unsur-Unsurnya
Pengertian Delik Penipuan

Berdasarkan teori dalam hukum pidana mengenai penipuan, terdapat dua sudut pandang yang tentunya harus diperhatikan, yakni menurut pengertian bahasa dan menurut pengertian yuridis, yang penjelesannya adalah sebagai berikut :

Menurut Pengertian Bahasa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ananda S, 2009 : 364) disebutkan bahwa tipu berarti kecoh, daya cara, perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dsb), dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Penipuan berarti proses, perbuatan, cara menipu, perkara menipu (mengecoh). Dengan demikian maka berarti bahwa yang terlibat dalam penipuan adalah dua pihak yaitu orang menipu disebut dengan penipu dan orang yang tertipu. Jadi penipuan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau membuat, perkataan seseorang yang tidak jujur atau bohong dengan maksud untuk menyesatkan atau mengakali orang lain untuk kepentingan dirinya atau kelompok.

Menurut Pengertian Yuridis
Pengertian Tindak Pidana Penipuan dengan melihat dari segi hukum sampai sekarang belum ada, kecuali apa yang dirumuskan dalam KUHP. Rumusan penipuan dalam KUHP bukanlah suatu definisi melainkan hanyalah untuk menetapkan unsur-unsur suatu perbuatan sehingga dapat dikatakan sebagai penipuan dan pelakunya dapat dipidana. Penipuan menurut Pasal 378 KUHP oleh Moeljatno (2007 : 133) sebagai berikut :
“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam rumusan Pasal 378 KUHP diatas. Maka R. Sugandhi (1980 : 396-397) mengemukakan pengertian penipuan bahwa :
“Penipuan adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak. Rangkaian kebohongan ialah susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun demikian rupa yang merupaka cerita sesuatu yang seakan-akan benar”.

Pengertian penipuan sesuai pendapat tersebut diatas tampak jelas bahwa yang dimaksud dengan penipuan adalah tipu muslihat atau serangkaian perkataan bohong sehingga seseorang merasa terpedaya karena omongan yang seakan-akan benar.

Biasanya seseorang yang melakukan penipuan, adalah menerangkan sesuatu yang seolah-olah betul atau terjadi, tetapi sesungguhnya perkataannya itu adalah tidak sesuai dengan kenyataannya, karena tujuannya hanya untuk meyakinkan orang yang menjadi sasaran agar diakui keinginannya, sedangkan menggunakan nama palsu supaya yang bersangkutan tidak diketahui identitasnya, begitu pula dengan menggunakan kedudukan palsu agar orang yakin akan perkataannya. Penipuan sendiri dikalangan masyarakat merupakan perbuatan yang sangat tercela namun jarang dari pelaku tindak kejahatan tersebut tidak dilaporkan kepihak kepolisian.

Penipuan yang bersifat kecil-kecilan dimana korban tidak melaporkannya membuat pelaku penipuan terus mengembangkan aksinya yang pada akhirnya pelaku penipuan tersebut menjadi pelaku penipuan yang berskala besar.
Adapun hal yang membedakan perbuatan penipuan dan perbuatan wanprestasi dapat ditinjau dari perspektif hukum perdata. Masalah wanprestasi bisa diitentifikasi kemunculan atau terjadinya melalui beberapa parameter sebagai berikut :

1. Dilihat dari segi sumber terjadinya wanprestasi.
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah melakukan wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara dua pihak atau lebih sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 BW / KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa:
“Supaya terjadi persetujuan yang sah dan mengikat, perlu dipenuhi empat syarat yaitu: adanya kesepakatan pada pihak yang mengikatkan dirinya; adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan; adanya suatu pokok persoalan tertentu yang disetujui; suatu sebab yang tidak terlarang.”

Secara umum wanprestasi biasanya terjadi karena debitur (orang yang dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu sesuai perjanjian) tidak memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati, yaitu:
  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali; atau
  2. Tidak tepat waktu dalam memenuhi prestasi; atau
  3. Tidak layak dalam pemenuhan prestasi sebagaimana yang dijanjikan.
2. Dilihat dari segi timbulnya hak menuntut ganti rugi.
Penuntutan ganti rugi pada wanprestasi diperlukan terlebih dahulu adanya suatu proses, seperti pernyataan lalai dari kreditor. Hal ini penting karena Pasal 1243 BW / KUHPerdata telah menggariskan bahwa;
“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu.    Kecuali jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan bahwa debitur langsung dapat dianggap lalai tanpa memerlukan somasi atau peringatan.”

Ketentuan demikian juga diperkuat oleh salah satu Yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan;
“Apabila perjanjian secara tegas telah menentukan tentang kapan pemenuhan perjanjian maka menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa  memenuhi kewajiban sebelum hal itu secara tertulis oleh pihak kreditur.”

3. Dilihat dari segi tuntutan ganti rugi.
Mengenai perhitungan tentang besarnya ganti rugi dalam kasus wanprestasi secara yuridis adalah dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1237 BW / KUHPerdata yang menegasakan bahwa:
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir.Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilahirkan, menjadi tanggungannya.”

Selajutnya ketentuan Pasal 1246 BW / KUHPerdata menyatakan;
“Biaya, ganti rugi dan bunga yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya.”

Berdasarkan Pasal 1246 BW / KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dang anti rugi bunga (interst). Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan masalah tuntutan ganti rugi pada kasus perbuatan melawan hukum.

Dalam kasus demikian, tuntutan ganti rugi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 BW / KUHPerdata, yakni tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya dan tidak perlu perincian.Jadi tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril.Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula. Namun demikian, meski tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi dalam kasus akibat perbuatan melawan hukum ini, seperti terlihat pada putusan tertanggal  7 Oktober 1976 yang menyatakan :
“Besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan social ekonomi kedua belah pihak.”

Demikian pula putusan Mahkamah Agung tertanggal 13 April 1978, yang menegaskan bahwa :
“Soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran.”

Terkadang penipuan juga sulit dibedakan dengan penggelapan, adapun perbedaan antara penipuan dan penggelapan yaitu, tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam KUHP diatur pada Buku II tentang kejahatan terhadap harta kekayaan, yaitu berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda yang dimilikinya. Secara umum, unsur-unsur tindak pidana terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan subyektif.
Adapun unsur subyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal sebagai berikut:
  1. Unsur perbuatan materiil, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus percurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki  atau mengklaim (dalam kasus penggelapan), menggerakkan hati  atau pikiran orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya;
  2. Unsur benda atau barang;
  3. Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus merupakanmilik orang lain;
  4. Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang;
  5. Unsur akibat konstitusi yang  timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang.
Sedangkan unsur subyektifnya adalah terdiri atas;
  1. Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya atau patut diduga olehnya” dan sebagainya; dan
  2. Unsur melawann hukum baik yang ditegaskan eksplisit atau tertulis dalam perumusan pasal maupun tidak.
Mengenai delik penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan terperinci dalam Buku II Bab XXV dari Pasal 378 s/d 395 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP. Secara yuridis delik penipuan memenuhi unsur-unsur  pokok berupa:
  1. Unsur subyektif delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang – undang dengan kata – kata : “ dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”; dan
  2. Unsur obyektif delik yang terdiri atas : 
    1. Unsur barang siapa;
    2. Unsur menggerakkan orang lian untuk menyerahkan suatu benda atau member hutang atau menghapusakan piutang; dan
    3. Unsur cara menggerakkan orang lain yakni dengan memakai nama palsu / martabat palsu / sifat palsu / tipu muslihat / rangkaian kebohongan.
Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang  sebagai pelaku kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup makna willen en wites (menghendaki dan mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah:
  1. Bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
  2. Menghendaki atau setidaknya mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda atau memberi utang atau menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik)
  3. Mengetahui atau menyadari bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda atau memberi hutang atau menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Disamping itu, karena sifat atau kualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil materil, maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wanprestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan.

Selanjutnya mengenai tindak pidana penggelapan, KUHP telah mengaturnya dalam Buku II Bab IV yang secara keseluruhan ada dalm 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang mengatur sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 900,-“

Berdasar Pasal 372 KUHP di atas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa:
  1. Unsur Subyektif
    Delik berupa kesengajaan pelaku  untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirimuskan dalam pasal undang-undang melalui kata “dengan sengaja”
  2. Unsur Obyektif
    Delik yang terdiri atas :
    1. Unsur barang siapa;
    2. Unsur menguasai secara melawan hukum;
    3. Unsur suatu benda;
    4. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
    5. Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.
Sedangkan terkait unsur-unsur onyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktrin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut:
  1. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut melawan hukum. Unsure melawan hukum ini merupakan  hal yang harus melekat ada pada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian hrus pula dibuktikan.
  2. Cakupan mana “suatu benda” milik orang lain dikuasai oleh palaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan  atau bisa disebut dengan istilah “benda bergerak”.
  3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai oleh pelaku  penggelapan, sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan bend ayang dikuasainya.
KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Kami hanyalah sekumpulan kecil dari kalangan akademisi yang senang berbagi pengetahuan melalui Blogging... Save Link - Andi AM