View All MAKALAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 18 Oktober 2017, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Hukum Acara Pidana , Hukum Pidana , Kumpulan Makalah Hukum , Makalah Mahasiswa Fakultas Hukum » Makalah - Proses Pembuktian dalam Peradilan Pidana Indonesia

Makalah - Proses Pembuktian dalam Peradilan Pidana Indonesia


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
B. Fungsi Hukum Acara Pidana
C. Tujuan Hukum Acara Pidana 
D. Pembuktian Dalam Peradilan Pidana

BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tanggal 24 September 1981 telah ditetapkan hukum acara pidana dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (disingkat : KUHAP) dan diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) No. 76/1981 dan Penjelasan dalam Tambahan lembaran Negara (TLN) No. 3209.

Untuk pelaksanaan KUHAP sebelum Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diundangkan, maka pada tanggal 4 Pebruari 1982 telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pedoman pelaksanaan ini bertujuan untuk menjamin adanya kesatuan pelaksanaan hukum acara pidana berdasarkan KUHAP itu sendiri, yaitu sejak dari penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara sampai pada penyelesaian di tingkat (lembaga) pemasyarakatan.

Sebelum secara resmi nama undang-undang hukum acara pidana disebut "Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana" (Pasal 285 KUHAP), telah menggunakan istilah "Wetboek van Strafvordenng"(Belanda) dan kalau diterjemahkan secara harfiah menjadi Kitab Undang-undang Tuntutan Pidana, maka berbeda apabila dipakai istilah "Wetboek van Strafprocesrecht" (Belanda) atau "Procedure of criminal" (Inggris) yang terjemahan dalam bahasa Indonesia "Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana". Tetapi menurut Menteri kehakiman Belanda istilah "strafvordering" itu meliputi seluruh prosedur acara pidana.

Istilah lain yang diterjemahkan dengan "tuntutan pidana" adalah "strafvervol-ging; dan istilah ini menurut Menteri Kehakiman Belanda tersebut yang tidak meliputi seluruh pengertian "strafprocesrecht" (hukum acara pidana). Jadi Istilah "Strafvorde-finglebih luas artinya daripada istUah "strafvervolging". Perancis menamai kitab undang-undang hukum acara pidananya nyaitu "Code d’instruction Criminelle; di Jerman dengan nama "Deutsche Strafprozessodnung; sedangkan di Amerika Serikat sering ditemukan istilah "Criminal Procedure Rules".

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka istilah yang paling tepat digunakan sebagaimana dimaksud oleh pembuat undang-undang yaitu "Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana", karena dalam pengertian ini telah mencakup seluruh prosedur acara pidana, yaitu mulai dari proses penyidikan sampai pelaksanaan putusan hakim, bahkan mengatur tentang upaya hukum biasa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali (herziening) dan kasasi demi kepentingan hukum).

Istilah lain hukum acara pidana dapat disebut juga sebagai "hukum pidana formal", maksudnya untuk membedakan dengan "hukum pidana materiel". Adapun dimaksud dengan "hukum pidana materiel" atau KUHPidana adalah berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat tidaknya orang dipidana dan aturan tentang pemidanaan, yaitu mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dijatuhkan, sedangkan "hukum pidana formil" atau KUHAP adalah mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.

Jadi hukum materiel adalah hukum yang berisikan materi hukuman, sedangkan hukum formil adalah hukum yang mengatur tentang tata cara bagaimana melaksanakan hukum materiel. Salah satu tata cara yang diatur dalam hukum acara pidana adalah masalah pembuktian sebagai salah satu bagian dari hukum acara pidana.

B. Rumusan Masalah
  • Bagaimanakah Hukum pembuktian Pidana di Indonesia?
  • Seperti apa Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana di Indonesia?
  • Bagaimana Proses Pembuktian dalam Peradilan Pidana Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Sebelum dikemukakan pengertian hukum acara pidana, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian hukum acara, sebagaimana dikemukakan oleh R. Soeroso, bahwa "Hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil".

Demikian pula menurut Moelyatno dengan memberikan batasan tentang pengertian hukum formil (hukum acara) adalah "hukum yang mengatur tata cara melaksanakan hukum materiel (hukum pidana), dan hukum acara pidana (hukum pidana formil) adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan/ mempertahankan hukum pidana materiel."

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) tidak disebutkan secara tegas dan jelas tentang pengertian atau definisi hukum acara pidana itu, namun hanya dijelaskan dalam beberapa bagian dari hukum acara pidana yaitu antara lain pengertian penyelidikan/penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain sebagainya.

Beberapa sarjana telah mengemukakan tentang pengertian hukum acara pidana atau hukum pidana formil, antara lain sebagai berikut:

R. Soesilo, bahwa pengertian hukum acara pidana atau hukum pidana formal adalah "Kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan mengatur soal-soal sebagai berikut:
  1. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan.
  2. Setelah ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu.
  3. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu, untuk membuktikan kesalahan tersangka.
  4. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana, dan
  5. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.

Secara singkat dikatakan, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiel, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus diiaksanakan. Demikian pula Simorangki mengemukakan pengertian hukum acara pidana yaitu "hukum acara yang melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiel".

Sedangkan van Bemmelen mengemukakan pengertian dengan mempergunakan istilah ilmu hukum acara pidana, yaitu "mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana:
  1. negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
  2. sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
  3. mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya;
  4. mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
  5. hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
  6. aparat hukum untuk melawan keputusan tersebut;
  7. akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.

Yan Pramadya Puspa memberikan batasan atau pengertian hukum acara pidana, sebagai berikut "Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum pidana harus ditegakkan atau dilaksanakan dengan balk seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara harus menunaikan hak pidana atau hak menghukumnya kepada Si pelanggar hukum (terdakwa) seandainya terjadi sesuatu pelanggaran hukum pidana pihak negara diwakili oleh penuntut umum atau jaksa di mana jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu di muka pengadilan".

Menurut Soesilo Yuwono, bahwa hukum acara pidana ialah ketentuan-ketentuan hukum yang memuat tentang:
  1. hak dan kewajiban dari mereka yang tersangkut dalam proses pidana;
  2. tata cara dari suatu proses pidana tindakan apa yang dapat dan wajib dilakukan untuk menemukan pelaku tindak pidana; bagaimana tata caranya menghadapkan orang yang didakwa melakukan tindak pidana ke depan pengadilan; bagaimana tata caranya melakukan pemeriksaan di depan pengadilan terhadap orang yang didakwa melakukan tindak pidana, serta bagaimana tata caranya untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Lanjut dikatakan bahwa ketentuan itu dibuat dengan tujuan untuk dapat menyelenggarakan penegakan dan kepastian hukum, menghindari timbulnya tindakan "main hakim sendiri" di dalam masyarakat yang bersifat sewenang-wenang.

B. Fungsi Hukum Acara Pidana
Pada uraian di atas telah dijelaskan, bahwa hukum pidana itu dibagi atas dua macam, yaitu hukum pidana material dan hukum pidana formal. Fungsi hukum pidana material atau hukum pidana adalah menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan, sedangkan fungsi hukum pidana formal atau hukum acara pidana adalah melaksanakan hukum pidana material, artinya memberikan peraturan cara bagaimana negara dengan mempergunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk mempidana atau membebaskan pidana.

Dalam mewujudkan wewenang tersebut di atas, ada dua macam kepentingan yang menuntut kepada alat negara, yaitu:
  1. Kepentingan umum, bahwa seorang yang melanggar suatu peraturan hukum pidana harus mendapatkan pidana yang setimpal dengan kesalahannya untuk mempertahankan keamanan umum, dan
  2. Kepentingan orang yang dituntut, bahwasanya orang yang dituntut perkara itu harus diperlakukan secara jujur dan adil, artinya harus dijaga jangan sampai orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana, atau apabila ia memang bersalah, jangan sampai ia memperoleh pidana yang terlampau berat, tidak seimbang dengan kesalahannya.
Van Bemmelen dalam bukunya "Leerboek van het Nederlandes Strafprocesrecht; yang disitir Rd. Achmad S Soema Dipradja, mengemukakan bahwa pada pokoknya Hukum Acara Pidana mengatur hal-hal:
  1. Diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilarangnya Undangundang pidana, oleh alat-alat negara, yang khusus diadakan untuk keperluan tersebut.
  2. Diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan itu.
  3. Diikhtiarkan segala daya upaya agar para pelaku dari perbuatan tadi, dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan.
  4. Alat-alat bukti yang telah diperoleh dan terkumpul hasil pengusutan dari kebenaran persangkaan tadi diserahkan kepada hakim, demikian juga diusahakan agar tersangka dapat dihadapkan kepada hakim.
  5. Menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti tidaknya daripada perbuatan yang disangka dilakukan oleh tersangka dan tindakan atau hukuman apakah yang lalu akan diambil atau dijatuhkan.
  6. menentukan daya upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan yang diambil Hakim.
  7. Putusan yang pada akhirnya diambil berupa pidana atau tindakan untuk dilaksanakan.

Maka berdasarkan hal-hal di atas, maka dapatlah diambil kesimpulan, bahwa tiga fungsi pokok hukum acara pidana, yaitu:
  1. Mencari dan Menemukan Kebenaran.
  2. Pengambilan putusan oleh hakim.
  3. Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil.
Demikian pula menurut Rd. Achmad S Soema Dipradja, bahwa hukum acara pidana adalah "untuk menentukan, aturan agar para pengusut dan pada akhirnya Hakim, dapat berusaha menembus ke arah ditemukannya kebenaran dari perbuatan yang disangka telah dilakukan orang".

Sedangkan menurut Bambang Poernomo bahwa tugas dan fungsi hukum acara pidana melalui alat perlengkapannya, ialah:
  1. untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran;
  2. menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan;
  3. melaksanakan keputusan secara adil.

C. Tujuan Hukum Acara Pidana
Selain fungsi hukum acara pidana di atas, maka dapat dikemukakan tujuan daripada hukum acara pidana, sebagaimana telah dirumuskan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP tahun 1982, bahwa Tujuan dari hukum acara pidana adalah:
  1. Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat;
  2. Untuk mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan;
  3. Setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hukum acara pidana mengatur pula pokok acara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut.
Dengan demikian berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP tersebut di atas, telah menyatukan antara tujuan dan tugas atau fungsi hukum acara pidana, namun seharusnya tujuan hukum acara pidana dari segi teoritis diparalelkan dengan tujuan hukum pada umumnya yaitu untuk mencapai "kedamaian" dalam masyarakat Selanjutnya dalam operasionalisasi tujuan hukum acara pidana dari segi praktis adalah untuk mendapatkan suatu kenyataan yang "berhasil mengurangi keresahan dalam masyarakat berupa aksi sosial yang bersifat rasional dan konstruktif didasarkan kebenaran hukum dan keadilan hukum".

Selain Pedoman Pelaksanaan KUHAP tahun 1982 di atas yang merumuskan tujuan KUHAP, juga dalam Konsideran huruf c KUHAP yang merupakan landasan atau garis-garis tujuan yang hendak dicapai KUHAP, yaitu "Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungal dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggara-nya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945";

Berdasarkan bunyi konsideran huruf c KUHAP di atas, maka dapat dijelaskan landasan tujuan KUHAP, sebagaimana dikemukakan Yahya Harahap, sebagai berikut:
  1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat, artinya menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum dan undang-undang kepadanya serta apa pula kewajiban yang dibebankan hukum kepada dirinya
  2. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum, yaitu:
    • meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing;
    • peningkatan kecerdasan & keterampilan teknis para aparat penegak hukum;
    • pejabat penegak hukum yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta bermoral perikemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Tegaknya hukum dan keadilan ditengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa, yaitu:
    • menegakkan hukum yang berlandaskan sumber Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala hukum dan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan sumber hukum dan nilai-nilai kesadaran yang hidup dalam masyarakat.
    • menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta segala nilai-nilai yang terdapat pada hukum dan perundang-undangan yang lain, yang nilainya aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat.
    • agar tidak bergeser dari KUHAP yang telah ditentukan sebagai pedoman tata cara pelaksanaan dan asas-asas prinsip hukumnya.
  4. Melindungi harkat dan martabat manusia, artinya manusia sebagai hamba Tuhan dan sebagai mahluk yang sama derajatnya dengan manusia lain, harus ditempatkan pada keluruhan harkat dan martabatnya
  5. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum, maksudnya arti dan tujuan kehidupan masyarakat ialah mencari dan mewujudkan ketentraman atau ketertiban yaitu kehidupan bersama antara sesama anggota masyarakat yang dituntut dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu lintas tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan tertib dan lancar.

Selain dalam Pedoman Pelaksanaan dan Konsideran KUHAP diatas, yang telah merumuskan tujuan hukum acara pidana, maka beberapa pendapat dapat dikemukakan tentang tujuan hukum acara pidana itu, sebagai berikut:

Menurut R. Soesilo, bahwa "tujuan daripada hukum acara pidana, adalah sebagai berikut "pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Para Penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai kepada Hakim dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasar kebenaran, harus berdasarkan hat-hal yang sungguh-sungguh terjadi".

Lanjut dikemukakan bahwa "Dalam mencari kebenaran ini, hukum acara pidana menggunakan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti daktiloskop, ilmu dokter kehakiman, photografi dan lain sebagainya, agar supaya jangan sampai terdapat kekeliruan-kekeliruan dalam memidana orang".

Sedangkan menurut Andi Hamzah, bahwa tujuan daripada hukum acara pidana adalah sebagai berikut "mencari dan menemukan kebenaran material itu hanya merupakan tujuan antara, artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal ini, mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil dan sejahtera (tata tentram kertaraharja)".

Moch. Faisal Salam, tujuan hukum acara pidana adalah "untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Lanjut Hoch. Faisal Salam dikatakan, bahwa setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hukum acara pidana mengatur pula pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut. 3adi apa yang diatur di dalam hukum acara pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, namun sekaligus juga bertujuan melindungi hak-hak asasi tiap-tiap individu balk yang menjadi korban maupun Si pelanggar hukum.

Sedangkan Soedjono D secara tegas menyatakan tentang tujuan hukum acara pidana yaitu "Undang-undang RI. No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dibuat antara lain dengan dasar pertimbangan dan tujuannya, adalah:
  1. Menjamin segala warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan;
  2. Penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari wawasan Nusantara;
  3. Agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing, demi terselenggaranya negara hukum sesuai UUD 1945;
  4. Perlu dicabutnya semua ketentuan undang-undang tentang hukum acara pidana yang sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional;
  5. Dan perlunya mengadakan undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan umum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung.

D. Pembuktian dalam Peradilan Pidana
Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti. Subekti menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 

Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Hukum pembuktian merupakan sebagian dart hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara Mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran pembuktian dalam Pasal 183 bahwa hakim tidal< boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. dan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu
  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ah(i;
  3. surat;
  4. petunjuk; dan
  5. keterangan terdakwa.
Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah:
  1. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim.

    Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah.

    Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.

  2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Log is (Conviction In Raisone) Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat.

    Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.

    Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus 'reasonable" yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

  3. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theode). Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa.

    Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.

    Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana.

    Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.

    Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : " hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".

    Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.

    Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.

    Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan system undang-undang secara negative sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan bahwa Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana yang kedua Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

    Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

    Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari gat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan.

    Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki.

    Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu :
    a). Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

    Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
    "Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten" Sehingga secara garis besar fakta not dibagi menjadi dua golongan, yaitu yang pertama adalah Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.

    Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.

    b). Kewajiban seorang saksi

    Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli.

    c). Satu saksi bukan saksi (unus testis nut/us testis)

    Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

    Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ml dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: "Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu gat bukti yang sah".

    d). Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.

    Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip "pembuktian terbalik" yang tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

    e). Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri

    Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa :
    "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi did terdakwa sendiri.

    Menurut asas ml, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadapterdakwa 8, demikian sebaliknya.

BAB III
KESIMPULAN

Ketentuan Pasal 183 KUHAP ini maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hat pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dari kalau ía cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.

DAFTAR PUSTAKA
  • Andi Hamzah, 1983, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
  • Bambang Poernomo, 1988, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
  • Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta:
  • Djambatan D. Soedjono, Pemeriksaan Pendahuluan menurut
  • K.U.H.A.P. Pen. Alumni Bandung.
  • Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara
  • Pidana, Bandung: Mandar Maju.
  • J.C.T. Simorangkir dkk, 1981, Kamus Hukum, Pen. Aksara Baru, Jakarta.
  • Martin Ian Prodjohamidjojo, 1984, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha.
  • Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Pen. CV. Mandar Maju, Bandung.
  • Moelyatno, Hukum Acara Pidana, Bagian Pertama, Seksi Kepidanaan, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
  • Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Citra Aditya, Bandung.
  • M. Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Penerbit Pustaka Kartini.
  • R. Soeroso, 1993, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, Pen. Sinar Grafika, Jakarta.
  • R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana. Prosedur Penyelesaian perkara pidana menurut KUHAP bagi Penegak Hukum, Politeia, Bogor.
  • Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP (sistem dan prosedur), Pen. Alumni Bandung.
  • Soedjono D, 1982, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Pen. Alumni, Bandung.
  • Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum (Edisi Lengkap), Pen. Aneka Semarang.
  • Subekti., 2001, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramitha.
  • Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,.Yogyakarta. 
  • Blog Hukum, https://seniorkampus.blogspot.com/, Senior Kampus, Hukum Acara Pidana.

Semoga Bermanfaat...

KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Kami hanyalah sekumpulan kecil dari kalangan akademisi yang senang berbagi pengetahuan melalui Blogging... Save Link - Andi AM