View All MAKALAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 18 Oktober 2017, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Hukum Pidana , Info Hukum Terbaru » Penjelasan Tentang Penyadapan Dalam Hukum Pidana

Penjelasan Tentang Penyadapan Dalam Hukum Pidana

Pengertian PenyadapanMenyadap menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Sedangkan arti merekam adalah memindahkan suara (gambar, tulisan) ke dalam pita kaset, piringan, dan sebagainya.

Mengacu pada definisi di atas dapat kita ketahui bahwa menyadap adalah perluasan dari makna merekam. Menyadap dilakukan salah satunya dengan jalan merekam namun secara diam-diam (tanpa sepengetahuan orang yang disadap). Sedangkan dalam merekam, bisa saja orang atau obyek yang direkam itu tahu bahwa dirinya direkam. (Hukum Pidana)

Menurut UU ITE pasal 31 tentang penyadapan

Pasal 31 Tentang ITE
  1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau  penyadapan atas informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik  dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu miolik Orang lain.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
  3. Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur denganPeraturan Pemerintah.
Menyadap dan Merekam Menurut UU Telekomunikasi
Penyadapan merupakan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“UU Telekomunikasi”) yang berbunyi:

"Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun."

Yang dimaksud dengan penyadapan adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang. Siapa yang melanggarnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Penyadapan dalam Rangka Penegakan Hukum
Tindakan Penyadapan dalam Rangka Penegakan Hukum Diatur Dalam UU/Hukum Acara Pidana dijelaskan bahwa ketentuan Pasal 31 UU ITE mempunyai maksud:
  1. Pertama, penegak hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum.
  2. Kedua, penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan permintaan dalam rangka penegakan hukum.
  3. Ketiga, kewenangan penyadapan dan permintaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus ditetapkan berdasarkan UU.
Melihat dari rumusan Pasal 31 UU ITE tentang larangan penyadapan atau intersepsi di atas, ini menunjukkan bahwa selain pihak yang berwenang dalam rangka penegakan hukum, dilarang melakukan penyadapan. Jika penyadapan tersebut dilakukan dengan melanggar hukum, tentu tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam persidangan.

Bolehkah Penyadapan?
Di Indonesia, instrumen penyadapan sebagai sebuah kewenangan aparat hukum sebetulnya telah memiliki sejarah yang cukup panjang. Pada masa Kolonial di Hindia belanda (Berdasarkan keputusan Raja Belanda Tanggal 25 Juli 1893 N0 36) bisa dianggap sebagai peraturan tertua di Indonesia mengenai penyadapan informasi yang terbatas digunakan pada lalu lintas surat di kantor pos seluruh Indonesia (mail interception).

Dalam perkembangannya saat ini, sejumlah undang-undang, terkait kewenangan khusus aparat Negara untuk melakukan penyadapan komunikasi, telah diatur paling tidak dalam enam undang-undang yakni Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika No 35 tahun 2009, Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang KPK dan Undang-Undang ITE No 11 tahun 2008.

Walaupun telah diatur dalam berbagai peraturan, kewenangan penyadapan di Indonesia sebenarnya jauh dari standar yang memadai dalam hal melindungi HAM terkait hak privasi dalam penegakan hukum. Bila dicermati pengaturan tersebut justru mendekati kesemrawutan.

Hak untuk menyadapan tidak boleh dengan gampang digunakan dengan dasar merupakan kewenangan semata dari aparat hukum. Karena pada intinya Penyadapan informasi adalah sebuah pelanggaran baik terhadap hukum dan perbuatan yang menyerang kebebasan privasi individu. Kalaupun penyadapan menjadi legal maka dasar itu pun hanya diberikan dengan sangat terbatas kepada aparat penegak hukum untuk membantu mereka dalam penyelidikan pidana. Dalam hal ini, undang-undang di Indonesia (UU telekomunikasi dan UU ITE) telah sepakat dan dengan tegas telah menyatakan bahwa penyadapan adalah sebagai tindak pidana.

Walaupun ketentuan ini hanya menjawab persoalan dalam hal penyadapan yang dilakukan antar individu, namun secara lebih rinci belum menjangkau penyadapan yang dilakukan oleh otoritas resmi negara.

Ruang lingkup penyadapan
  1. Di berbagai negara yang telah maju dalam menggunakan kewenangan penyadapan, penyadapan  hanyalah digunakan terbatas untuk mencegah dan mendeteksi dalam hal kejahatan-kejahatan yang sangat serius dengan syarat: dipergunakan karena metode investigasi kriminal lainnya telah mengalami kegagalan.
  2. Tiada cara lainnya yang dapat dgunakan selain penyadapan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
  3. Harus ada alasan yang cukup kuat dan dipercaya bahwa dengan penyadapan maka bukti-bukti baru akan di temukan dan sekaligus dapat digunakan untuk mengukum pelaku pidana yang disasar.
Di samping itu di beberapa negara, penyadapan dapat juga digunakan dengan dasar  kepentingan khusus bagi keamanan negara (interest of national security), dan digunakan dalam hal menjaga  keamanan dan stabilitas ekonomi di sebuah negara.

Tren ketentuan pembatas penyadapan bagi aparatus negara di berbagai dunia juga telah demikian berkembangan. Penyadapan hanya dapat digunakan dalam kondisi dan prasyarat yang khusus misalnya:
  1. Adanya otoritas resmi yang jelas berdasarkan UU yang memberikan izin penyadapan (mencakup tujuan yang jelas dan objektif ) 
  2. Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan.
  3. Pembatasan penanganan materi hasil penyadapan.
  4. Pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan dan pembatasan-pembatasan lainnya.
Hal yang terpenting adalah disediakannya mekanisme komplain bagi warga Negara yang merasa bahwa dirinya telah disadap secara ilegal yang dilakukan oleh otoritas resmi, yang diduga dilakukan tanpa prosedur yang benar dan dengan menyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan.

Pembatasan-pembatasan seperti ini diperlukan karena penyadapan berhadapan langsung dengan perlindungan hak privasi individu. Konvensi Hak Sipil Politik telah memberikan hak bagi setiap orang untuk dilindungi dari campur tangan yang secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dalam masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya, serta serangan yang tidak sah terhadap kehormatan dan nama baiknya.

Oleh karena itu hak ini harus dijamin untuk semua campur tangan dan serangan yang berasal dari pihak berwenang negara maupun orang-orang biasa atau hukum. Dan negara memiliki kewajiban-kewajiban untuk mengadopsi langkah-langkah legislatif dan lainnya untuk memberikan dampak pada pelarangan terhadap campur tangan dan serangan tersebut serta perlindungan atas hak ini. Dalam paradigma inilah hukum penyadapan harus diletakkan.

Kesemrawutan Hukum Penyadapan
Di Indonesia kesemrawutan hukum penyadapan terlihat dengan banyaknya otoritas yang memberikan izin untuk penyadapan. Marilah kita lihat siapa saja yang memiliki otoritas tersebut dalam regulasi Indonesia, UU Psikotropika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin Kepala Polri. UU Narkotika (UU No 35 tahun 2009) membolehkan Badan Narkotika Nasional (BNN ) melakukan penyadapan dengan ijin ketua pengadilan Negeri, namun dalam kondisi yang mendesak dapat pula dilakukan penyadapan tanpa izin.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua Pengadilan Negeri. UU Komisi Pemberantasan Korupsi memperbolehkan melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi berdasarkan keputusan KPK.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengizinkan penyadapan atas permintaan penyelidikan aparat hukum yang didasarkan UU. Demikian pula UU Telekomunikasi.

Hal diatas menunjukkan bahwa otoritas yang mengizinkan dilakukannya penyadapan di Indonesia sangat beragam dan berbeda-beda tergantung sasarannya. Padahal umumnya di negara lain, izin penyadapan hanya dimiliki oleh satu otoritas saja. Ada yang menggunakan model yang izinnya diberikan oleh pemerintah (executive authorisation)  ada yang menggunakan model yang izinnya diperoleh dari pengadilan (judicial authorisation) dan model yang diizinkan oleh hakim komisaris (investigating magistrate). Indonesia justru menganutnya secara campur sari, tanpa adanya mekanisme kontrol yang pasti.

Beragamnya institusi pemberi izin inilah yang membuat setiap intitusi berebut untuk menggunakan otoritasnya. Implikasinya, tidak ada mekanisme pemantauan dan kontrol yang seragam terhadap intitusi yang melakukan penyadapan. Dan ini akan membuka peluang terjadinya saling klaim berdasarkan kepentingan masing-masing intitusi, akibatnya HAM atas privasi yang mencakup hak privasi keluarga dan komunikasi dan korespodensi menjadi rentan dilanggar.

Di samping itu aturan mengenai jangka waktu penyadapan juga berbeda-beda. Kita lihat jangka waktu penyadapannya. Dalam UU Psikotropika izin penyadapan dilakukan dalam jangka waktu 30 hari. Dalam UU narkotika izin penyadapan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan dan dapat diperpanjang 3 bulan lagi.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan dalam jangka waktu satu tahun. UU KPK mengizinkan penyadapan tanpa dibatasi jangka waktu tertentu. Masalah jangka waktu yang berbeda ini rentan dilanggar jika tidak ada pemantauan dan kontrol dari institusi yang objektif.

Ketiadaan aturan mengenai penggunaan materi hasil penyadapan juga akan menimbulkan penyalagunaan. Pengaturan penggunaan materi hasil penyadapan ini sebenarnya mencakup berberapa hal yang pada intinya yakni:
  1. Adanya pembatasan orang yang dapat mengakses penyadapan dan jangka waktu penyimpanan hasil penyadapan.
  2. Prosedur penyadapan mengatur mengenai materi penyadapan yang relevan.
  3. Prosedur menjadikan materi penyadapan sebagai alat bukti di pengadilan.
  4. Menghancurkan hasil penyadapan yang sudah tidak relevan demi kepentingan umum dan hak privasi warga negara.
Tiadanya aturan mengenai penggunaan materi hasil penyadapan mengakibatkan materi hasil penyadapan dapat diakses siapapun baik secara rahasia maupun publik. Dan dapat diperdengarkan atau dikutip di berbagai media tanpa melalui seleksi yang ketat. Hal inilah yang dapat Membuka penyalahgunaan materi penyadapan. Tidak adanya mekanisme menyimpan berdasarkan hukum maupun menghancuran materi rekaman dapat mengancam hak privasi bagi siapaun yang menjadi sasaran penyadapan.

Hal yang terpenting pula adalah di Indonesia tidak adanya mekanisme komplain yang disediakan secara khusus dari warga negara dan kontrol yang objektif terhadap penggunaan penyadapan atau materi penyadapan yang dilakukan tanpa prosedur, di luar kewenangan atau dilakukan dengan cara abuse of power. Tiada mekanisme ini akan menyuburkan praktek-praktek yang melanggar HAM dalam melakukan penyadapan.

Yang lebih aneh lagi, pengaturan kewenangan penyadapan di Indonesia  justru banyak berkembang dalam tataran hukum sektoral di masing-masing institusi, tentunya didasari dengan kepentingannya dan paradigma masing-masing institusi, penyusunan pengaturan tersebut juga bisa dipastikan tidak transparan dan kurang partisipasi publik.

Sumber,.
Catatan kuliah Mahasiswa Hukum Universits Muslim Indonesia (Makassar)
Posted by. Piymen FH UMI 06

Update by. Andi Akbar Muzfa SH
KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Kami hanyalah sekumpulan kecil dari kalangan akademisi yang senang berbagi pengetahuan melalui Blogging... Save Link - Andi AM