View All MAKALAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM

INFO BLOGGER!
Info Blogger - Mulai 18 Oktober 2017, Blog Senor Kampus akan fokus membahas tentang materi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dominan membahas tentang Hukum Acara.
Save Link - Andi AM (Klik Disini)...

Home » Info Hukum Terbaru , Tindak Pidana Penipuan » Penjelasan Lengkap Tentang Delik Penipuan Dalam KUHPidana

Penjelasan Lengkap Tentang Delik Penipuan Dalam KUHPidana

Pembahasan lengkap tentang Pemalsuan
Delik-delik pemalsuan menarik untuk diperbincangkan dalam konteks hukum pidana, karena kalangan ahli hukum pidana memiliki pandangan yang berbeda terhadap delik ini. 

Sebagian mengatakan bahwa pemalsuan masuk kategori delik materiil, namun sebagian lagi menyatakan sebagai delik formil. Jika pemalsuan digolongkan sebagai delik materiil, maka akibat yang dilarang harus muncul setelah perbuatan tersebut dilakukan, dan jika akibat yang dilarang tidak timbul, maka tidak digolongkan sebagai delik. Namun, jika digolongkan sebagai delik formil, maka akibat tersebut tidak mutlak sebagai unsur, sehingga sepanjang perbuatan sudah dilakukan, maka tidak penting mempertimbangka akibat yang dilarang muncul atau tidak.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tindak pidana pemalsuan dalam beberapa jenis, yaitu sumpah palsu (Pasal 242), pemalsuan mata uang, uang kertas negara dan uang kertas bank (Pasal 244-252), pemalsuan meterai dan cap/merek (Pasal 253-262), pemalsuan surat (Pasal 263-276), laporan palsu dan pengaduan palsu (Pasal 220). 

Dalam tulisan ini maka pembahasan difokuskan pada tafsir atas pemalsuan surat terutama Pasal 263 dan Pasal 266 karena kedua pasal ini acapkali menimbulkan tafsir yang beragam di kalangan para ahli hukum pidana.

Pasal 263 dan Pasal 266 berada dalam satu bab yaitu Bab XII tentang Pemalsuan dalam Surat-Surat (valschheid in geschrift) yang berturut-turut memuat empat title, semuanya tentang kejahatan terhadap kekuasaan umum. 

Pemalsuan dalam surat-suart dianggap lebih bersifat mengenai kepentingan masyarakat, yaitu kepercayaan masyarakat kepada isi surat-surat daripada bersifat kepentingan kepentingan pribadi yang mungkin secara langsung dirugikan dengan pemalsuan surat ini. 

Secara umum, unsur-unsur pemalsuan surat dalam Bab XII ini terdiri dari (1) suatu surat yang dapat menghasilkan sesuatu hak sesuatu perjanjian utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu kejadian; (2) membuat surat palsu (artinya surat itu sudah dari mulainya palsu) atau memalsukan surat (artinya surat itu tadinya benar, tetapi kemudian palsu); (3) tujuan menggunakan atau digunakan oleh orang lain; (4) dapat menimbulkan kerugian.

Dalam melakukan tafsir atas suatu pasal dalam KUHP, maka secara teorit dapat digunakan dengan mengurai unsur-unsur yang objektf dan unsur-unsur subjektf dari pasal tersebut. 

Unsur-unsur yang subyektif. 
Satochid Kartanegara, menerangkan tentang unsur-unsur yang obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat diluar manusia, yaitu yang berupa: suatu tindak tanduk atau suatu tindakan, suatu akibat tertentu (eem bepaald gevolg) dan keadaan (omstandddigheid), yang kesemuanya ini dilarang oleh undang-undang. Sedangkan unsur-unsur yang subyektif dapat berupa: dapat dipertanggung jawabkan dan kesalahan.

Pasal 263 KUHP
Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barang siapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang di palsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Unsur-Unsur dan Tafsir Pasal
Pasal 263 jika diurai unsur-unsur berdasakan teori hukum pidana maka dapat dilihat dua unsur bersarnya yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.

Unsur objektif, meliputi perbuatan: (a) membuat surat palsu, (b) memalsu. Objeknya yakni surat: (a) yang dapat menimbulkan hak, (b) yang menimbulkan suatu perikatan, (c)yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; (d) ang diperuntukan sebagai bukti dari pada suatu hal, dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakai surat tertentu.

Unsur subjektif: dengan maksud untuk menggunakanya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat tersebut. Pasal ini mengindikasikan, bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan maka unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah:
No. Unsur Pasal Tafsir
1. Barang siapa Orang per orang, terdakwa
2. Surat Segala sesuatu yang berbentuks surat : tulis tangan, computer, mesin ketik atau dicetak dan sebagainya. 

Ada empat jenis surat : 
  1. surat yang menimbulkan suatu hak; 
  2. surat yang menerbitkan suatu perikatan; 
  3. surat yang menimbulkan pembebasan utang dan 
  4. surat yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu.
3. Surat palsu/memuat sesuatu yang tidak benar :
  1. Dapat menerbitkan suatu hak (ijajah, tiket tanda masuk, saham.
  2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian
  3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang
  4. Surat keterangan atau surat yang dapat menimbulkanperistawa (surat kematian, kelahiran dsb). Surat yang isinya bertentang dengan kebenaran baik mengenai isinya atau tanda tangan seolah-olah berasal dari orang yang namanya tertera dalam surat tersebut (Putusan MA No. 2050 K/Pid/2009.
  5. Menimbulkan sesuatu hak/perikatan/pembebasan hutang/sebagai bukti 
4. Dengan maksud Si pelaku benar-benar menghendaki perbuatan tersebut dan atau akibat dari perbuatan tersebut

5. Memakai/menyuruh orang lain memakai
 
6. Dapat menimbulkan kerugian Mengutip dari HR 22 April 1907, menurut tafsir yang dibuat Lamintang, tidak harus menimbulkan kerugian namun cukup ada kemungkinan kerugian. Bahkan Menurut HR 29 Maret 1943, timbulnya kerugian bisa juga berupa berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada notaris termasuk dalam kategori timbulnya kerugian

7. Pidana maksimum 6 tahun


Sementara itu perbuatan yang dilarang terhadap empat macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu (vervalsen). 

Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. 

Perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. 

Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu. Menggunakan sebuah surat adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya. 

Ada dua syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain. 

Kerugian tersebut harus bisa diperhitungkan (Adami Chazawi), jika kerugian tidak diderita oleh para pihak, maka unsur ini tidak terpenuhi.

Dalam pasal ini, pemalsuan surat harus dilakukan dengan sengaja (dengan maksud) dipergunakan sendiri atau menyuruh orang lain mempergunakan surat palsu tersebut yang seolah olah asli. Dengan demikian orang yang menggunakan surat palsu itu trsebut harus mengetahui benar-benar bahwa surat itu palsu, jika tidak mengetahui maka tidak dapat dihukum. Pengetahuan ini penting karena unsur kesengajaan menghendeki pengetahuan dan keinginan (willen en wetten). Dengan demikian harus ada unsur pengetahuan dari orang yang mempergunakan surat palsu tersebut, seolah olah surat itu benar dan bukan palsu.

Pertanggungjawaban pidana

Untuk mengetahui apakah pelaku dapat diminta pertanggungjawaban atas delik yang dilakuknanya maka harus dilihat dapat kemamuan jiwa (versdelijke vermogens), doktrin ini secara lebih lengkap disebut dengan actus non facit reum nisi mens sit rea (actus reus dan mens rea) : suatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali dilakukan dengan niat jahat atau geen straf zonder schuld. 

Kesalahan merupakan unsur penting dari pertanggungjawaban pidana disamping unsur lainnya yaitu kemampuan bertanggung jawab dan tiadanya alasan pemaaf.

Kesalahan dibagi dua, yaitu kesengajaan dan kelalaian. Dalam konteks kasus ini maka yang akan ditafsirkan adalah kesengaajaan karena Pasal 263 KUHP menghendaki adanya unsur kesengajaan (dengan maksud). 

Kesengajaa : atau dolus (opzet) atau intention tidak dirumuskan dalam KUHP namun ada dalam penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) yaitu menghendaki dan menginsafi suatu tindakan beserta akibat-akibatnya (willen dan wetten) kategori perbuatan ini disebut juga dengan dolus manus. 

Untuk mengetahui ada tidaknya kesengajaan dapat mempertimbangkan dua theory berikut ini yaitu :
  1. Teori kehendak (willstheorie) yang menghendaki perbuatan dan akibat-akibatnya teori kehendak ini dikenal dengan prinsip dolus manus.
  2. Teori membayangkan (voorstelingstheorie) yaitu suatu akibat tidak mungkin dikehaki karena pada prinsipnya manusia hanya memiliki kehendak untuk melaksanakan perbuaan tetapi tidak dapat menghendaki akibatnya.
Dalam praktik tidak ada perbedaan dalam menerapkan teori ini, kecuali hanya perbedaan istilah saja. Karena hanya ingin mengukur, apakah akibat tersebut dikehendaki atau dibayangkan saja. 

Dalam konteks kelalaian maka ada dua jenis yaitu kelalaian berat (culva lata) dinilai karena kekurang waspadaan atau kekurang hati-hatian dari pelaku dan kelalaian ringan (culva levis)karena tingkat kecerdasan pelaku yang diperbandingkan dengan tingkat kecerdasan rata-rata pada umumnya. 

Ukuran kecerdasan ini mengacu pada pengetahuan pelaku dan persepsi pelaku sebagai manusia normal. Untuk mengukur tingkat kelalaian ini pun, dapat menggunakan tingkat usia pelaku dan keadaan fisik pelaku. 

Tidak bisa menyamaratakan antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain karena tingkat kecerdasan rata rata orang juga dipengaruhi oleh usia, sehingga menimbulkan perilaku ketidakhati-hatian (Sianturi).

Pasal 266 KUHP
Barangsiapa menyuruh masukkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarnanya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keteranganya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbjlkan kerugian dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memaki akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Tafsir terhadap pasal ini tidak jauh berbeda dengan tafsir pasal 263. Hanya saja yang perlu digarisbawahi adalah pemaknaan akta otentik dan dapat menimbulkan kerugian. 

Akte otentik ditafsirkan adalah akta-akta atau surat barharga yang keberadaannya diatur dalam peraturan perundabg-undangan. Akta otentif bisa diterbitkan oleh notaris bisa juga diterbitkan oleh pejabat lain yang diakui oleh peraturan perundang-undangan misalnya akta nikah yang diterbitkan oleh kantor catatan sipil atau kantor urusan agama. 

 Tafsir berikutnya adalah “dapat menimbulkan kerugian”. Kerugian bukanlah hal mutlak yang harus ada, karena pasal ini menggunakan kata-kata “dapat”, ini artinya boleh ada kerugian boleh juga tanpa adanya kerugian. 

Namun demikian, menurut menulis, jika Pasal 266 digolongkan sebagai delik materiil maka akibat yang dilarang harus timbul lebih dahulu, dan akibat akibat yang dilarang ini merupakan unsur mutlak yang harus ada dan bisa dibuktikan di pengadilan.

PEMALSUAN SURAT


Tindak Pidana Pemalsuan Surat.
Sesuai dengan pengertian yang diberikan pada kata faux oleh para pembentuk Code Penal, yakni yang dapat dijadikan objek dari faux atau pemalsuan hanya ecrtures atau tulisan-tulisan saja. 

Menurut pengertian para pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlak, yang dapat menjadi objek dari tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHPidana. Dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 yang dapat dibedakan menjadi 7 macam kejahatan pemalsuan surat yakni:

Pemalsuan Surat pada Umumnya: 
  • bentuk pokok pemalsuan surat (Pasal 263).
  • Pemalsuan Surat yang Diperberat (Pasal 264).
  • Menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam Akta Otentik (Pasal 266).
  • Pemalsuan Surat Keterangan Dokter (Pasal 267, 266).
  • Pemalsuan Surat-surat tertentu (Pasal 267,266).
  • Pemalsuan Surat Keterangan Pejabat tentang Hak Milik (Pasal 274).
  • Menyimpan Bahan atau Benda untuk Pemalsuan Surat (275).
Pasal 272 dan Pasal 273 telah dicabut melalui stb. 1926 No.359 jo.429. Pasal tidak memuat rumusan kejahatan, melainkan tentang ketentuan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa penjatuhan hak-hak tertentu berdasarkan Pasal 35 No.1-4 bagi kejahatan pemalsuan surat.

Pemalsuan Surat Pada Umumnya
Kejahatan Pemalsuan Surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar ) yang dimuat daclam Pasal 263, yang merumuskan adalah sebagai berikut:

“Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal yang dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulakan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun”

Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah jika pamakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Dalam Pasal 263 tersebut ada 2 kejahatan, masing-masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Rumusan pada ayat ke-1 terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur subjektif dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan orang tersebut.

Unsur-unsur objektif
  1. Barang siapa;
  2. Membuat secara palsu atau memalsukan;
  3. Suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu perikatan atau suatu pembebasan utang atau;
  4. Suatu surat yang dimaksud untuk membuktikan suatu kenyataan;
  5. Penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.

Sedang ayat 2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur-unsur obyektif :
  • Perbuatan : Memakai;
  • Objeknya : a) surat palsu; b) surat yang dipalsukan;
  • Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Unsur subyektif : 
  • dengan sengaja.
Surat (grechrift) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, perinter komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apa pun. 

Membuat surat palsu (membuat palsu/valschelijk opmaaken sebuah surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya.

Membuat surat palsu dapat berupa hal-hal berikut.
  1. Membuat surat palsu yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut pemalsuan intelektual (intelectuele valschelijk).
  2. Membuat surat palsu yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materiil (materiele valschelijk). Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.
Di samping isi dan asalnya sebuah surat disebut surat palsu, apabila tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya :
  1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya, seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif (dikarang-karang);
  2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya ataupun tidak.
Tanda tangan yang dimaksud disini termasuk tanda tangan dengan menggunakan cap/stempel tanda tangan. Hal ini ternyata dari suatu arrest HR (12-2-1920) yang menyatakan bahwa disamakan dengan menandatangani suatu surat ialah membubuhkan stempel tanda tangannya (soenarto soerodibroto, 1994:154).

Sedangkan perbuatan memalsukan (vervalsen) surat adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi surat semula. 

Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, pemalsuan surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat.

Sama halnya dengan membuat surat palsu, memalsukan surat dapat terjadi selain terhadap sebagaian atau seluruh isi surat. Misalnya si pembuat dan yang bertanda tangan si pembuat surat. 

Misalnya si pembuat dan yang bertanda tangan dalam surat bernama Parikun, diubah tanda tangannya menjadi tanda tangan orang lain yang bernama Panirun. 

Menurut Soenarto soerodibroto,(1994:154). Dalam hal ini ada suatu arrest HR (14-4-1913) yang menyatakan bahwa “barang siapa di bawah suatu pentulisan membubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan orang tersebut telah memalsukan tulisan itu”

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat sebelum perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu surat yang isinya sebagaian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam tulisan itu di hasilkan membuat surat palsu. Surat yang demikian di sebut dengan surat palsu atau surat tidak asli.

Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuat memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadian surat yang semula benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat, melainkan terbatas pada 4 macam surat, yakni:
  1. Surat yang menimbulkan suatu hak;
  2. Surat yang menimbulkan suatu perikatan;
  3. Surat yang menimbulkan pembebasan hutang;
  4. Surat yang diperuntuhkan bukti mengenai sesuatu hal.
Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara lahir adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi ada surat-surat tertentu yang disebut surat formil yang langsung melahirkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah dan lain sebagainya. 

Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Misalnya surat jual beli melahirkan hak si penjual untuk menerima uang pembayaran harga benda, dan pembeli mempunyai hak untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya.

Begitu juga dengan surat yang berisi pembebasan hutang. Lahirnya pembebasan hutang pada dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu perikatan. Misalnya suatu Kuitansi yang bersisi penyerahan sejumlah uang tertentu dalam hal dan dalam hubungannya dengan misalnya jual beli, hutang piutang dan lain sebagainya. 

Mengenai unsur-unsur surat yang diperuntuhkan sebagi bukti akan adanya sesuatu hal, didalamnya ada 2 hal yang perlu dibicarakan, yakni: Mengenai diperuntuhkan sebagai bukti; Tentang sesuatu hal.Menurut Soenarto Soerodibroto (1994:155) sesuatu hal, adalah: berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) Maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran dan kematian), peristiwa mana mempunyai suatu akibat hukum.

HR dalam suatu arrestnya (22-10-1923) menyatakan bahwa “yang diperhatikan sebagai bukti suatu hal adalah kejadian yang menurut hukum mempunyai, jadi yang berpengaruh terhadap hubungan hukum orang-orang yang bersangkutan”. Menurut Satochid Kartanegara: (1890:278) .Yang dimaksud dengan bukti adalah: karena sifatnya surat itu memiliki kekuatan pembuktian atau (bewijskracth). 

Siapa yang menentukan bahwa adanya kekuatan pembuktian atas sesuatu hal dalam sebuah surat itu?.Dalam hal ini bukan pembuat yang dapat menentukan demikian, melainkan UU atau kekuasaan tata usah negara.

Dalam UU, seperti Pasal 1870 KUHPerdata () yang menyatakan “bahwa akta otentik bagi para pihaknya beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak daripada mereka merupakan bukti sempurna tantang apa yang dimuat di dalamnya”. 

Surat-surat yang masuk dalam akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna akan sesuatu hal adalah surat-surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang dan dalam bentuk yang ditentukan oleh UU. Surat yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti ini misalnya surat nikah, akta kelahiran, vonis hakim, sertifikat hak atas tanah dan lain sebagainya.

Sedangkan kekuatan pembuktian atas surat-surat oleh kekuasaan tata usaha negara, misalnya buku kas, rekening koran atau rekening giro dalam suatu bank, surat kelakuan baik, surat angkutan, faktur dan lain sebagainya. 

Mengenai diperuntukkan sebagai bukti dan (b) mengenai sesuatu hal adalah berupa dua unsur yang tidak terpisahkan. Sebuah surat yang berisi tentang suatu hal atau suatu kejadian tertentu, dimana kejadian mempunyai pengaruh bagi yang bersangkutan, misalnya perkawinan yang melahirkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, dalam praktik diberi suatu nama tertentu. 

Misalnya surat yang dibuat untuk membuktikan adanya kejadian kelahiran disebut dengan surat keterangan kelahiran atau akta kelahira, surat yang dibuat untuk membuktikan adanya suatu kejadian diberi nama surat kawin atau surat nikah. Surat-surat semacam ini dibuat memang diperuntukkan untuk membuktikan adanya kejadian tertentu itu.

Dalam hal surat-surat semacam ini selain di dalamnya menyatakan tentang kejadian tertentu itu atau dapat juga disebut sebagai isi pokok dari surat itu, juga memuat tentang keadaan-keadaan atau hal lain tertentu yang ada sekitar atau berhubungan dengan kejadian sebaga isi pokok surat yang harus dibuktikan oleh surat itu. 

Misalnya surat kematian isi pokoknya atau kejadia yang harus dibuktikan oleh surat ituadalah adanya kematian dari seorang tertentu. Adakalanya dalam surat itu dicantumkan juga sebab kematiannya, misalnya karena penyakit TBC. Keterangan tentang sebab kematiannya bukanlah termasuk dalam pengertian unsur hal atau kejadian yang harus dibuktikan oleh akta kematian itu. 

Demikian juga dalam akta kelahiran, walaupun didalamnya disebutkan kelahiran seorang bayi dari suami istri bernama tertentu, akta kelahiran itu tidak untuk membuktikan tentang sahnya perkawinan antara ibu dan bapak si bayi.

Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat ayat 1 yakni “Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. Pada unsur / kalimat ”seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung, makna: 

  1. adanya orang-orang yang terpedaya dengan di gunakannya surat-surat yang demikian, dan 
  2. surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak dipalsu, orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.
Membuat SIM dirinya secara palsu, yang terpedaya adalah Polisi, dan bila penggunaannya dengan maksud untuk diterimanya bekerja sebagai sopir, maka yang terpedaya adalah majikannya yang akan mempekerjakan orang itu.

Unsur lain daripada pemalsuan surat dalam ayat 1, ialah jika pemakaian surat palsu atau surat di palsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan / dimaksudkan petindak. 

Dalam unsur ini terkandung pengertian bahwa: 
  1. pemakaian surat belum dilakukan. Hal ini ternyata dari adanya perkataan “jika” dalam kalimat/ unsur itu, dan 
  2. karena penggunaan pemakaian surat belum dilakukan,maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada. 
Hal ini ternyata juga dariadanya perkataan “dapat”. Kerugian yang timbul akibat dari pemakaian surat sebelum dilakukan, maka dengan dengan sendirinya kerugian itu bel;um ada. Hal ini ternyata juga dari adanya perkataan “dapat”.

Menurut Soenarto Soerodibroto (1994:156) “Kerugian yang dapat timbul akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, tidak perlu diketahui atau disadari oleh petindak”. Hal ini ternyata dari adanya suatu arrest HR (8-6-1897) yang menyatakan bahwa “petindak tidak perlu mengetahui terlebih dulu kemungkinan timbulnya kerugian ini”. 

Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikrkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu.

Pemalsuan Surat Yang Diperberat
Pasal 264 merumuskan:
Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakukan terhadap:
  1. Akta-akta otentik
  2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umumnya
  3. Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero hutang dari suatu perkumpulan, yayasan perseroan atau maskapai;
  4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari surat yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
  5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntuhkan untuk diedarkan
Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau tidak dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. 

Hal yang menyebabkan diperberat pemalsuan surat Pasal 264 diatas terletak pada faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi objek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaanyang lebih besar akan kebenaran isinya. 

Surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi daripada surat-surat biasa atau surat lainnya. Kepercayaan yang lkebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan diperberat ancaman pidananya.

DALUARSA TINDAK PIDANA

Keberlakuan Daluwarsa dalam Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Dalam suatu forum diskusi terjadi perdebatan mengenai berlakunya daluarsa terhadap tindak pidana pemalsuan surat. Apabila sebuah tindak pidana telah daluwarsa atau telah melampau batas sebagaimana waktu yang telah ditentukan maka hilanglah hak untuk menuntut pelaku tindak pidana tersebut, namun demikian apakah dengan begitu menjadi adil bagi si korban?.

Tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:

Pasal 263
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar· dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, denganpidana penjara paling lama enam tahun.

( 2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Kententuan mengenai daluwarsa diatur dalam pasal 78 KUHP sebagai berikut:

Pasal 78
(1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:

Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;

Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

( 2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

Dari uraian ketentuan kedua pasal tersebut di atas tindak pidana pemalsuan surat yang mana diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun maka sebagaimana pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP, kewenangan menuntut atas tindak pidana pemalsuan tersebut menjadi hapus karena daluwarsa sesudah 12 (dua belas) tahun.

SEKIAN..
Dihimpun dari berbagai sumber, artikel hukum, buku-buku, literatur, diskusi, materi perkuliahan dan kajian hukum.

Admin : Dian Eka Pratiwi
Update : Nirmala Amir, SH
Advokat : Andi Akbar Muzfa, SH
Kantor Hukum : Famz & Partners
KONSULTASI HUKUM GERATIS...
Kantor Hukum ABR & PARTNERS dibawah pimpinan Andi Akbar Muzfa, SH., Membuka Konsultasi Hukum Geratis Buat Para Pencari Keadilan Yang Membutuhkan Pandangan dan Pertimbangan Hukum...
No. HP/WA : 082187566566
Sebaik-baik Manusia adalah yang Bermanfaat Bagi Sesamanya/Orang Lain...
Save Link - Andi AM

✂ Waktunya Belajar...
Loading Post...

Share artikel ke :

Facebook Twitter Google+
TENTANG BLOGGER!
Info Blogger - Blog Senior Kampus dikelolah oleh beberapa admin dari kalangan Mahasiswa Hukum dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Kami hanyalah sekumpulan kecil dari kalangan akademisi yang senang berbagi pengetahuan melalui Blogging... Save Link - Andi AM